Tawhid dan Kesetiakawanan Sosial
NABI IBRAHIM : MENGGALI NILAI-NILAI TAWHID DAN KESETIAKAWANAN SOSIAL
Oleh: Abid Rohmanu, M.H.I.
Jama’ah Sholat ‘Id al-Adha yang dimulyakan Allah …
Al-hamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah swt., untuk kesekian kalinya kita masih diberi kesempatan untuk merayakan Hari Raya ‘Id al-Adha dengan segenap aktivitas ibadah yang menyertainya. Selanjutnya, saya mengajak khususnya pribadi saya sendiri dan umumnya Jama’ah ‘Id al-Adha, marilah kita tingkatkan kualitas ketaqwaan kita dengan memperteguh pondasi tawhid dan keimanan kita. Tawhid dan keimanan menghindarkan manusia dari berpikir jangka pendek, di sini dan sekarang, sementara ketaqwaan merupakan bentuk pemenuhan akan kewajiban dan penjagaan diri dari kejahatan. Taqwa walaupun sering kali digambarkan sebagai hubungan manusia dengan Allah, akan tetapinya implikasinya bersifat social, sebagaimana salah satu ciri orang yang bertaqwa, sebagaimana tersurat dalam surat al-Baqarah ayat 2 dan 3, adalah kesediaan untuk mengorbankan hartanya di jalan Allah atau untuk mereka yang membutuhan.
$Allah akbar Allah Akbar wa lillah al-hamd …
Jama’ah shlat ‘Id al-Adha rahimakumullah …
Pada momentum hari raya ‘Id al-Adha tahun ini marilah kita merefleksikan kembali makna ‘id al-Adha, nilai serta pesan moral yang terkandung di dalamnya – dengan sedikit melakukan kilas balik terhadap sejarah Nabi Ibrahim yang sering disebut dengan Bapaknya para Nabi dan Rasul serta Khalilullah (kekasih Allah). Dengan memahami makna ‘Id al-Adha dan nilai kesejarahan Ibrahim, diharapkan kita tidak terjebak pada rutinitas tahunan dan formalitas ibadah, akan tetapi mampu mengimplemantasikan spirit yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan keseharian.
Jama’ah sholat “id al-Adha rahimakumullah …
Hari raya ini teramat Istimewa bagi umat Islam, karena terkandung di dalamnya ibadah haji dan kurban dan sekaligus merupakan bagian dari syiar Islam yang oleh Allah diperintahkan untuk mengagungkannya. ‘Id al-Adha, hari raya kurban, hari raya haji, atau “bodho besar” dalam bahasa kita, pada hakikatnya adalah ritual peribadatan untuk mengenang dan “menapak-tilasi” sejarah besar Nabi Ibrahim. Pertanyaan yang menggelitik kita kemudian adalah siapa Nabi Ibrahim itu dan mengapa menempati tempat yang teramat istimewa dalam ajaran Islam, dan mengapa namanya banyak disebut di dalam al-Qur’an?
Nabi Ibrahim yang hidup sekitar 30 abad sebelum hijrah, sering kali disebut sebagai sosok nyata dalam sejarah yang menjadi nenek moyangnya agama monotheis. Agama besar di dunia, Islam, Kristen dan Yahudi mempunyai moyang yang sama, yakni Ibrahim. Kristen dan Yahudi mengacu pada Ya’kub dan Ishaq dari perkawinan Ibrahim dengan Sarah, istri pertamanya. Sementara Islam dirujukkan pada Isma’il, putra dari Hajar, Istri kedua Ibrahim. Walaupun mengacu pada moyang yang sama, dalam sejarahnya, ketiga penganut agama ini saling bertikai dan sebagian menyelewengkan paham monotheisme Ibrahim, sebagaimana penganut Kristen belakangan mengembangkan konsep trinitas dan penganut Yahudi yang mengembanggkan paham zionisme serta, Yahudi sebagai ras, sebagian telah meninggalkan agamanya dan menjadi ateis atau tidak beragama. Al-Qur’an dalam hal ini mengingatkan mereka untuk kembali pada agama Ibrahim, agama yang hanif yakni agama yang lurus yang mempertahankan kepercayaan tawhid. Al-Qur’an, surat ali ‘Imran: 64 menggambarkan:
Katakanlah: “Hai para Ahli Kitab, marilah kita membentuk suatu kesepakatan (kalimat al-sawa) atau consensus yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak akan mengabdikan diri, kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan, selain Tuhan Yang Maha Esa. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah (Muslimun).”
Jama’ah sholat ‘Id al-Adha yang berbahagia …
Ibrahim, beliaulah, dengan bimbingan Allah, yang membidani pencarian konsep ketuhanan yang Esa, konsep ketuhanan yang paling rasional dan paling sesuai dengan fitrah manusia dan mengajarkannya pada manusia. Misi Rasulullah Muhammad saw. Pada hakikatnya adalah menegakkan masyarakat baru berdasarkan kepercayaan tawhid atau pengesaan Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh khususnya Ibrahim, dan umumnya Nabi-Nabi lain.
Tidak sebagaimana umat Islam pada umumnya yang keislaman dan keyakinannya pada Tuhan Yang Esa diperoleh secara turun temurun, Ibrahim pada usia yang dini secara mandiri telah melakukan pencarian Tuhan Yang Esa. Mirip seperti pencarian ilmuan dalam mengungkap misteri alam, Ibrahim mengamati peristiwa dan fenomena Alam dengan tekun dan teliti, mengolah akalnya untuk menjelaskan fenomena tersebut tanpa dipengaruhi oleh keyakinan yang hidup di masyarakat. Al-Qur’an surat al-An’am ayat 76 – 78 dalam hal ini merekam bagaimana Ibrahim mengamati bintang-bintang yang bertebaran di langit, bulan dan matahari yang terbit secara bergantian, tetapi keduanya tenggelam secara bergantian pula. Beliau kemudian menarik kesimpulan bahwa semua itu bukan Tuhan, Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.
Kesimpulan Ibrahim ini bertolak belakang dengan keyakinan kaum Shabi’ah kala itu yang menyembah bintang, bulan dan matahari. Pada usia 14 tahun, Ibrahim mulai mendakwahkan apa yang diperoleh dan diyakininya sebagai benar, dan umur 16 tahun Ibrahim berani menghancurkan berhala-berhala sesembahan masyarakat di wilayahnya. Sungguh usia yang masih belia dalam melakukan pergulatan pencarian Tuhan dan kebenaran serta keberanian dalam mendakwahkan apa yang diyakininya berseberangan dengan keyakinan masyarakat secara umum. Pada usia tersebut, umumnya remaja di lingkungan kita lebih disibukkan dengan permainan-permainan duniawiyah.
Seluruh usia Ibrahim didedikasikan untuk menda’wakan konsep dan aplikasi tawhid, keyakinan akan keesaan Allah. Setelah melakukan da’wah selama 46 tahun di Kota Ur (Irak selatan sekarang), kota tempat kelahirannya, pada usia 60 tahun, Ibrahim memutuskan untuk hijrah ke Turki, Palestina dan Mesir untuk menyebarkan paham monotheismenya. Sebagaimana di kota kelahirannya, Ibrahim mendapatkan tantangan yang maha berat dari masyarakat sasaran da’wahnya – dalam bentuk siksaan dan pengucilan – akan tetapi hal tersebut tak pernah menyurutkan langkahnya untuk menyuarakan kebenaran yang diyakininya.
Jama’ah Sholat ‘Id al-Adha yang dimulyakan Allah …
Dari kilasan sejarah Ibrahim di atas, dapat dipahami keistimewaan Ibrahim sebagai bapak monotheisme dan agama tawhid. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an-nya menuturkan bahwa keistimewaan Ibrahim meliputi tiga hal; pertama, Ibrahim memperoleh pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa melalui proses panjang dan berliku. Ibrahim sejak muda melakukan observasi dan pengamatan terhadap alam kemudian menyimpulkannya untuk menangkap pengetahuan tentang ketuhanan. Keyakinannya pada Allah didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran pribadi, dan bukan bersifat imitative belaka. Kedua, Ibrahim menyebarkan dan memperjuangkan keyakinan tawhidnya kepada berbagai bangsa dalam pengembaraannya yang sangat luas. Ketiga, Ibrahim adalah sosok yang teruji dengan perintah dan larangan Allah dan karenanya oleh Allah dijadikan pemimpin umat manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat 124 dinyatakan :
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim”.
Di antara ujian Allah terhadap Ibrahim adalah perintah untuk mengorbankan putranya Isma’il. Ketika Isma’il menginjak dewasa, Ibrahim mendapatkan perintah lewat mimpinya untuk menyembelih putranya Isma’il, putra yang disanginya. Qatadah menyatakan bahwa mimpi para Nabi adalah hak/benar adanya, jikalau mereka memimpikan sesuatu maka mereka pasti mengerjakannya (ورؤيا الأنبياء حَقٌّ ، إِذا رأَوا شيئاً ، فعلوه) Ketika hal itu diceritakan kepada Isma’il, Isma’il meminta kepada ayahnya agar memenuhi perintah tersebut. Ibrahimpun hendak melaksanakan perintah tersebut. Dalam surat al-Shaffat ayat 102 diceritakan :
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanngup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakkusesungguhnya aku melihat dalam mimpibahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ternyata perintah tersebut merupakan ujian ketaatan dan kepatuhan Ibrahim dan anaknya terhadap perintah Allah, maka Allah-pun menggantinya dengan domba.
Jama’ah sholat ‘Id rahimakumullah …
Pengorbanan Ibrahim dan putranya sungguh di luar standar batas kemampuan manusia biasa. Pertanyaannya kemudian adalah motif apa atau apa yang mendasari Ibrahim dan putranya hingga mampu melakukan hal demikian. Menurut Daud Rasyid dalam bukunya, Islam dalam Berbagai Dimensi, menyatakan bahwa yang mendasari/motif Ibrahim berikut Isma’il mampu melakukan pengorbanan/perintah menyembelih putranya adalah karena dua hal:
- Cara pandang Ibrahim terhadap dunia dan hal-hal yang bersifat materi.
- Bobot Allah dalam visi kehidupan Ibrahim
Kedua hal di atas sangat menentukan pola pikir dan tindakan Ibrahim dalam merespon perintah Allah. Dunia yang bersifat materi bagi Ibrahim hanyalah sarana untuk menggapai kehidupan akhirat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri. Karena ia merupakan sarana, maka hal-hal yang bersifat materi bisa ditundukkan oleh Ibrahim tatkala berhadapan dengan kepentingan ukhrawi, yakni perintah Allah. Seluruh kehidupan Ibrahim didedikasikan untuk mengabdi dan menyembah Allah dan karenanya posisi, kepentingan dan perintah Allah mengatasi segalanya.
Allah Akbar wa lillah al-hamd …
Jama’ah ‘Id al-Adha rahimakumullah …
Kisah pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim beserta putranya pada dasarnya merupakan symbol yang mengandung nilai pelajaran bagi kita. Kisah pengorbanan Ibrahim dan anaknya mestinya kita perluas maknanya, tidak hanya dalam bentuk aktivitas penyembelihan hewan kurban setiap hari raya ‘Id al-Adha yang dagingnya kita bagikan kepada para fakir dan miskin. Akan tetapi, kisah Ibrahim atau penyembelihan hewan kurban – selain sebagai mekanisme pendekatan kepada Allah, sebagaimana makna “qurban” itu sendiri – merupakan symbol solidaritas dan kepekaan social yang diajarkan oleh Islam. Karena itu, pengorbanan dalam kerangka pendekatan diri kepada Allah dan penumbuhan solidaritas social bisa dalam bentuk yang beraneka ragam dan tidak dibatasi pada hari, bulan atau tahun tertentu.
Makna simbolik yang lain adalah bahwa hewan kurban yang merupakan hewan ternak adalah symbol kekayaan yang paling tinggi nilainya pada masa Ibrahim. Tetapi di zaman sekarang ini symbol kekayaan bukan lagi sebatas kambing, melainkan dalam bentuk mobil mewah, pabrik dan usaha skala menengah, gaji/pendapatan yang tinggi, tabungan, deposito dan yang lainnya. Karena itu, menarik apa yang telah dikatakan Komaruddin Hidayat, memotong hewan kurban zaman sekarang ini juga bisa diwujudkan dengan cara memotong gaji, tabungan ataupun deposito dan membagikannya kepada para fakir, miskin, anak-anak yatim, piatu dan dhu’afa.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah …
Memotong hewan kurban bisa juga dimaknai sebagai “memotong” naluri-naluri yang bersifat hewaniyah pada diri manusia, seperti ketamakan dan kerakusan terhadap materi dan hal-hal yang bersifat fisik, memotong dan mengurangi paham individualisme yang bermuara pada pengabaian terhadap realitas social sekeliling. Pengorbanan pada dasarnya adalah kemampuan kita untuk mentransendensikan hal-hal yang bersifat materi dalam kerangka ibadah kepada Allah. Kesadaran terhadap makna simbolik kurban sebagaimana telah diterangkan di atas terasa penting di tengah pergeseran orientasi pada sebagian besar masyarakat muslim, imbas dari kemajuan zaman dan modernisme. Pola-pola hidup yang dihiasi dengan hal-hal yang bersifat ruhani dan spiritual digeser dengan orientasi yang bersifat kebendaan. Prestasi dalam bidang pemenuhan kebutuhan materiil-bendawi dewasa ini telah menjadi alat ukur kesuksesan hidup yang paling dominan. Dari pergeseran orientasi ini berkembanglah pola-pola hidup yang bersifat konsumtif, hedonistic (pengejaran kenikmatan yang bersifat duniawi) dan invidualistik dan mengabaikan hal-hal yang bersifat ruhani dan spiritual.
Jama’ah Sholat ‘Id al-Adha yang dimuliakan Allah …
Demikian yang bisa saya sampaikan Dalam kesempatan ini. Harapan kita, semoga sejarah Ibrahim yang tiap tahunnya kita peringati bisa memberikan penyegaran kepada kita akan arti pentingnya nilai-nilai ketauhidan sebagaimana telah diajarkan oleh Ibrahim, Bapaknya para Nabi dan bapaknya agama tawhid. Selain itu, semoga kita juga bisa menggali dan mengamalkan makna simbolik dibalik sejarah pengorbanan Ibrahim dalam rangka menyuburkan kesadaran kesetiakawanan social di tengah kehidupan social yang masih memprihatikan secara ekonomi.