Revitalisasi Nalar Ijtihad

REKONTRUKSI TEORI QIYÂS :

MENGAGAS UPAYA REVITALISASI NALAR IJTIHAD

 Oleh : Abid Rohmanu, M.H.I.

 

Judul Buku     : Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi : Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li al-Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah

Penulis            : Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî

Penerbit          : al-Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabi, Beirut, Mei 1993

Tebal               : 599 Halaman

 Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kurun waktu satu dasawarsa ini, umat Islam selalu diposisikan sebagai subordinat bagi kepentingan The Other, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Spekulasi yang yang berkembang adalah bahwa hal tersebut imbas dari dogmatisme ajaran agama yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan umat Islam sehingga agak tertutup terhadap autokritik terhadap dirinya. Solusi yang ditawarkan adalah dengan membuka dan menghidupkan kembali pintu dan ruh ijtihad sebagai yang telah ada pada masa keemasan Islam dan meninggalkan system nalar ijtihad abad pertengahan yang membelenggu dan dinilai tidak peka terhadap realitas social. Dengan demikian ijtihad diharapkan dapat lebih responsif terhadap tuntutan dan dinamika zaman dan bisa melahirkan ilmu-ilmu keislaman (ulûm al-dîn) yang humanis.

″Ijtihâd″ yang mempunyai akar kata yang sama dengan ″jihâd″ ini dalam konteks yang general adalah penggunaan nalar manusia (upaya pikir) yang meng-cover varian proses mental sejak dari interpretasi teks sampai pada penilaian terhadap otentisitas tradisi[1]. Berdasar pengertian tersebut, ijtihad memainkan peranan penting dalam ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi persoalannya adalah bahwa ijtihad yang berkembang selama ini lebih banyak didominasi oleh model-model ijtihad yang bersifat furû’ dan belum banyak menyentuh persoalan-persoalan ushûl, atau nalar ijtihad itu sendiri. Sementara system penalaran yang banyak dipakai adalah system nalar yang berkembang pada masa tadwîn, masa “pembaku-bukuan” ilmu-ilmu keislaman. Sementara itu menurut Patai, struktur nalar pada masa tersebut lebih banyak diwarnai oleh aktivitas memelihara dari pada merumuskan, mempertahankan dari pada mengembangkan, dan meneruskan dari pada memulai atau memprakarsai hal baru. Dalam iklim demikian, lanjut Patai, motivasi individu untuk melakukan riset dan penyelidikan ilmiah sebagaimana yang telah berkembang pada masa klasik Islam secara bertahap melemah tak berdaya. [2]

 Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî sosok yang concern terhadap restrukturisasi nalar ijtihad Arab-Islam yang selama ini terlembagakan secara kukuh. Hal tersebut dilakukan melalui mega-proyeknya “Kritik Nalar Arab” (KNA). Melalui pintu KNA yang ia wujudkan dalam trilogi Kritik Akal Arab yang buku keduanya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi menjadi objek book review ini, al-Jâbirî mengkampanyekan kesadaran ilmiah terhadap tradisi (turâts) [3] dengan pendekatan-pendekatan epistemologis. Dalam buku tersebut al-Jâbirî secara detail melakukan studi terhadap sistem epistemologi Arab-Islam yang selama ini beroperasi dalam budaya Arab-Islam. Menurutnya, system epistemologi Arab-Islam  yang berkembang didominasi oleh epistem bayâni[4] yang teraplikasikan secara teoritis dalam qiyâs[5] yang menurutnya mempunyai kelemahan-kelemahan epistemologis.

Mengenal Sekilas al-Jâbirî

Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî adalah Filosof Maroko Kontemporer yang lahir pada tahun 1936 di kota fekik, Maroko tenggara,[6] bagian dari wilayah Maghribi yang telah banyak menelorkan Filosof-Filosof Klasik kenamaan semisal Ibn Rusyd, Ibn khaldûn, Ibn Hazm dan al-Syâthibî. Dan nyatanya al-Jâbirî mengidolakan tokoh-tokoh tersebut karena dinilai sebagai motor semangat rasionalisme dalam konstelasi ilmu-ilmu keislaman.[7] Maroko juga merupakan wilayah yang pernah menjadi daerah protektoriat Perancis. Karenanya, Bahasa Arab dan Bahasa Perancis merupakan bahasa resmi wilayah ini. Dan karena itu pula al-Jâbirî banyak berdialog dengan tradisi pemikiran Perancis yang banyak diwarnai oleh analisa sejarah, kritik filsafat dan kritik nalar serta jauh dari bentuk-bentuk formalisme.[8]

Al-Jâbirî merepresentasikan dirinya sebagai kelompok post-modernis, sekelas dengan Abu Zayd, Hasan Hanafi dan Arkoun. Luthfi as-Syaukanie menggolongkan tipologi pemikiran kelompok ini sebagai reformistik dengan pendekatan yang dekonstruktif dalam membaca tradisi (turâts). Kajian-kajian yang sering mereka libatkan dalam metodologi mereka adalah semiotika, antropologi dan sejarah dengan afiliasi sepenuhnya pada filsafat strukturalisme dan post-strukturalisme.[9]

Al-Jâbirî adalah seorang dosen, seminaris dan penulis yang cukup produktif. Ada 17 karya dalam bentuk buku yang telah dihasilkan selain goresan penanya yang berbentuk makalah seminar, artikel dan yang semisalnya.[10] Di antara karya-karyanya yang cukup popular adalah tiga buku berseri-nya yang mewadahi “kritik nalar Arab-nya” (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).[11] Karya-karyanya telah banyak mendapatkan respon dari kalangan akademisi, baik dalam bentuk kajian-kajian maupun penterjemahan-penterjemahan.

Kritik al-Jâbirî terhadap Teori Qiyâs ; The Core of Ijtihad dalam budaya Arab-Islam 

Kalau dalam seri I trilogi-nya al-Jâbirî telah memaparkan kontruksi nalar  peradaban Arab-Islam, yakni pilahan-pilahan epistem; epistem bayâni, ‘irfâni[12] dan burhâni[13], maka dalam seri II ini al-Jâbirî secara detail mengulas masing-masing epistem tersebut dan di akhir pembahasan ia menawarkan pilihan epistem atau mensintesakannya dalam rangka memulai era baru “tadwîn”.

Menurut al-Jâbirî, epistem yang genuine Arab adalah epistem bayâni dengan teori qiyâs sebagai titik sumbunya. Tidak mengherankan bila al-Jâbirî menghabiskan 100 halaman lebih untuk menyorot secara tajam system nalar ini. System nalar ini merupakan pusat orientasi metodologis bagi keilmuan Arab-Islam, Fiqh (Jurisprudensi), Kalam (Teologi), Nahwu dan Balaghah. Semua disiplin keilmuan ini menurutnya digerakkan oleh logika kebahasaan.[14] Sementara logika dan sistem bahasa itu sendiri secara signifikan mempengaruhi corak metode berpikir bahkan membatasi ruang lingkup pemikiran penuturnya.[15]

Berbicara tentang nalar ijtihad dalam epistem bayâni berarti berbicara tentang teori qiyâs, sebab teori qiyâs adalah teori yang par excellence dalam nalar bayâni, baik itu dalam lingkungan Bahasa, Teologi ataupun Jurisprudensi. Hanya bila dirunut dari aspek kesejarahan, teori qiyâs lebih dulu eksis dalam ranah kebahasaan. Karena itu menurut al-Jâbirî dalam buku pertamanya, al-Syâfi’î bukanlah master arsitek dari qiyâs, ia hanya mengembangkan teori tersebut dari ranah kebahasaan ke dalam hukum Islam.[16]

Sebagaimana peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks, al-Jâbirî menyatakan bahwa ijtihad atau qiyâs dalam tradisi bayâni belum beranjak dari ″seputar teks″ (hawl al-nash). Dua karakter yang sejak awal disandang teori ini adalah titik tolak dari lafaz menuju makna (al-ashl fî al-lafzh la fî al-wâqi’) dan orientasi berlebihan pada hal-hal yang partikular, parsial dan atomistik dari pada yang universal (perhatian pada kata/lafaz dari pada tujuan-tujuan shara’). Dalam tradisi bayâni kerja akal hanya dalam bingkai ″elaborasi teks″ (istitsmâr al-nash) dan inilah yang disebut dengan ijtihad dalam tradisi tersebut.[17] Rasionalitas dan petunjuk hanya mungkin bila disandarkan dan mengabdi pada kandungan teks (ma’qûl al-nash).

Nalar ijtihad Arab-Islam, menurut al-Jâbirî, hanya berkisar pada level dilâlah al-khithâb (petunjuk wacana) yang kurang bisa menyentuh realitas sehingga signifikansi wacana menjadi absurd. Dilâlah al-khithâb bisa dalam bentuk petunjuk teks (dilâlah al-nash) atau petunjuk kandungan teks (ma’qûl al-nash).[18] Petunjuk yang terakhir inilah yang bermuara pada teori qiyâs, itu artinya persoalan baru (al-far’) harus dirujukkan (disamakan) secara ketat pada kandungan teks (ma’qûl al-nash) sebagai al-ashl untuk memperoleh penyelesaian atau status hukum. Sementara dalam proses tersebut mujtahid harus berjibaku dengan persoalan hubungan lafaz dan makna yang menurut al-Jâbirî relasi pasangan tersebut bermasalah (musykilah al-zawj ; al-lafz wa al-ma’na).[19] Model seperti itu seringkali terjebak pada eksplanasi kebahasaan dari pada sisi intelektual-logis. Ijtihad dalam bingkai kebahasaan ini disebut oleh al-Jâbirî sebagai ijtihâd fi al-lughah dengan maqâshid al-lughah sebagai kata pemutus.[20] Karena itu al-Jâbirî sampai pada kesimpulan bahwa teori qiyâs dalam nalar bayâni lebih banyak mengabdi pada ″kuasa asal″ (sulthah al-ashl)[21] dan ″kuasa lafaz″ (sulthah al-lafz) dan ″kuasa kerbabolehan″ (sulthah al-tajwiîz).[22] Lafaz dan makna, asal dan cabang, jawhar dan ‘aradh dalam tradisi bayâni merupakan pasangan-pasangan yang membingkai aktivitas berpikir dan relasi pasangan-pasangan tersebut bersifat tajwîz (keserbabolehan, bukan relasi kausalitas).

″Kuasa kerbabolehan″ (sulthah al-tajwîz), tidak saja mewarnai relasi lafaz dan makna, akan tetapi juga mewarnai bagian dari kontruksi qiyâs, yakni ‘illah. ‘Illah adalah pilar utama dalam teori qiyâs, karena tanpanya tidak mungkin ada qiyâs antara al-far’ dan al-ashl. ‘Illah adalah sifat, sebagaimana sifat ″memabukkan″ pada khamr untuk melegitimasi keharaman khamr dan minuman lain yang sejenis. Mujtahid dengan metode-metode yang telah ditetapkan melakukan pencarian (istinbâth)  ‘illah sebagai alat jastifikasi (tabrîr) bagi berlakunya hukum asal pada cabang dengan perangkat wawasan kebahasaan dan unsur idiologis-teologis yang disandangnya.[23] Karena itu ‘illah bersifat zhan (spekulatif) dan karena itu pula relasi antara al-ashl dan al-far’ adalah relasi keserbabolehan, bukan relasi kemestian sebagaimana dalam mantiq,[24] dan itu yang terjadi pada qiyâs al-’illah dalam Ushûl al-Fiqh, qiyâs al-dalâlah (qiyâs al-syâhid ‘ala al-ghâib) dalam kalam dan tasybîh dalam disiplin bahasa.

Ta’sîs al-Bayân ‘ala Burhân sebagai Solusi

Dalam bukunya Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, sebagaimana dalam buku-bukunya yang lain, al-Jâbirî menunjukkan keberpihakannya secara lantang pada epistem burhâni, epistem yang diangap bisa mewadahi semangat rasionalismenya. Di sisi lain, sebagai muslim, ia tidak bisa mengelak keterlibatannya (involved) dengan tradisi bayâni. Sebagaimana ia mengatakan bahwa interaksi tradisi bayâni dengan teks merupakan bagian dari kenyataan sejarah, akan tetapi yang disesalkan dalah cara dan metode kaum salaf dalam memahami teks tersebut yang dinilai kelewat konservatif.[25] Terlebih, di tangan al-Syafi’i, sistem nalar tersebut dibakukan lewat teori qiyâs-nya dan rumusan sumber hukumnya yang empat, al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan qiyâs. Dengan hal itu, ia pada dasarnya tidak mengorientasikan manusia agar mengamalkan sumber/dasar yang empat tersebut – sesuatu yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya – akan tetapi membatasi scop nalar Arab-Islam yang pengaruhnya sangat terasa hingga sekarang.[26] Karenanya al-Jâbirî menawarkan adanya kolaborasi antara epistem bayâni (rasionalitas teks) yang genuine Arab dengan epistem burhâni (rasioanalitas objektif) yang telah ditransfer  oleh bangsa Arab dari tradisi Yunani lewat proses penterjemahan. Al-Jâbirî menyebut penyelarasan kedua sistem nalar tersebut sebagai ta’sîs al-bayân ‘ala burhân[27] (memberi landasan ″rasionalitas-burhâni″ pada tradisi bayâni) atau  ta’shîl al-ushûl[28] (membangun dasar/nalar ijtihad). Sementara itu ia menolak peran nalar ‘irfâni yang menurutnya telah mengesampingkan akal dan menyerang dua epistem lainnya dari dalam. Al-Jâbirî menyebut nalar ‘irfâni (irasionalitas yang rasional) sebagai sebuah pandangan dunia yang bersifat magis dan subjektif– dengan model kasyf  dan ilhâm-nya – yang  tidak mengenal obyektivitas dan parameter keilmuan karena tidak didasarkan pada alat-alat psiko-fisik manusia ; potensi indera dan akal.[29]

Karena itu yang dimunculkan kemudian adalah metode-metode yang beroperasi dalam sistem burhanî, yakni al-istintâj (deduksi, qiyâs silogisme) dan al-istiqra’ (induksi) sebagai alternatif bagi qiyâs al-’illah.[30] Hal itu dilakukan dengan sepenuhnya berpegang pada al-maqâshid (tujuan-tujuan syari’ah) sebagai alternatif dari dilâlah al-lafz (petunjuk lafaz), al-kulliyat (universalisme) alternatif dari atomisme, al-nazhrah al-târikhiyyah (analisis sejarah) alternatif dari analisis teks dan idrâk al-sabab wa al-musabbab (prinsip kausalitas) sebagai alternatif dari prinsip al-tajwîz (keserbabolehan).

Al-Istintâj adalah aktivitas penalaran untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyyah)dengan cara mengaitkan proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik. Ativitas berpikir ini mensyaratkan pengetahuan tentang al-had al-awsath (term tengah, term perantara) yang menyatukan kedua proposisi tersebut. Selain itu juga harus ada keserasiaan relasi antar terma dan kesimpulan, yang terakhir ini muncul secara otomatis. Contoh gampangnya adalah; setiap manusia tidak akan kekal, Sokrates juga manusia, maka Sokrates tidak kekal. Sebaliknya al-istiqra’ adalah determinasi analitis dari relasi sejumlah fenomena, kemudian diiringi proses generalisasi, sebagaimana dimisalkan; Sokrates tidak kekal, Plato tidak kekal, Zayd tidak kekal… maka semua manusia tidak kekal.[31] Pada contoh yang pertama, al-had al-awsath-nya – sepadan dengan ‘illah (causa) dalam bahasa qiyâs bayâni – adalah “manusia”  yang sudah ada sebelumnya dan  menyatukan dua proposisi, premis mayor dan minor, sehingga yang dicari adalah kesimpulan (natîjah). Ini berbanding terbalik dengan ‘illah dalam qiyâs bayâni yang harus dicari sementara natîjah-nya sudah ada – contohnya adalah keharaman khamr. Hal ini akan membuat aktivitas nalar  tunduk pada hal yang bersifat ihtimâl dan zhan.[32]

Model penalaran qiyâs al-’illah yang pada dasarnya adalah al-tamtsîl dan al-muqârabah, menurut al-Jâbirî – mengutip pendapat Aristoteles –  varian dari al-istiqra’ yang paling lemah dari sudut mantiq. Jadi bukan varian dari al-Istintâj. Ia digolongkan pada al-istiqra’ al-khithâbi (inferensia wacana) karena hanya merupakan tasybîh (penyamaan) dan al-muqârabah (kedekatan). Dalam tradisi bayâni, ‘illah sendiri dipersyaratkan munâsib (berkesesuaian). Al-Munâsib sendiri secara etimologis adalah al-muqârabah, karena munâsib-nya ‘illah bermakna sifat yang mendekatkan pada hukum (al-washf al-muqârib li al-hukm).[33]

Penutup

Menurut perspektif kesejarahan, secara tertib penyebutan system nalar yang beroperasi dalam lingkup peradaban Arab-Islam adalah; bayâni, ‘irfâni dan burhâni, karena memang dua epistem yang awal mendahului epistem burhâni. Masing-masing epistem tipikal terhadap yang lain, karenanya mensintesakannya akan memperkaya perspektif. Dalam sejarah pemikiran Arab-Islam sebenarnya hal tersebut telah terjadi, yakni pada periode al-tadâkhul al-talfîqi, sebagaimana antara lain yang telah dilakukan al-Kindi dalam melakukan upaya penyelarasan antara epistem bayâni dengan burhâni. Akan tetapi menurut al-Jâbirî, tanpa bermaksud menafikan kontribusinya dan mereka yang telah melakukan hal serupa, tetap saja otoritas yang menguasai nalar  Arab “itu-itu” saja.[34] Hal tersebut terjadi karena usaha yang dilakukan masih bersifat parsial atau tradisi burhan belum sepenuhnya diadopsi oleh peradaban Arab-Islam atau juga karena faktor ideologis.

Apa yang dilakukan al-Jâbirî dengan proyeknya ta’sîs al-bayân ‘ala burhân adalah sebentuk auto-kritik terhadap nalar ijtihad peradaban Arab-Islam dengan menawarkan bangunan epistemology yang khas, yakni melalui pendekatan burhâni dengan tetap mempertimbangkan tradisi pemikiran lokal. Semangat rasionalismenya yang tercermin dari tawaran metodenya, burhâni, silogisme atau al-qiyâs al-jâmi dengan tetap berpegang pada maqâshid al-syarî’ah, hikmah dan kemaslahatan sebagai alternatif dari teori al-qiyâs al-‘illah pada dasarnya lebih memperlihatkan nilai epistemologis ketimbang kekakuan logika formal. Karena memang metode burhan dimunculkan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Metode ini juga diakui telah menjauhkan tendensi subyektivitas dalam penalaran, karena sebagai basis pengetahuan ilmiah empiris, epistem burhâni selalu menekankan pada akurasi, konsistensi, koherensidan keterukuran pengetahuan. Nalar ijtihad, ketika pergumulan agama dengan kehidupan kontemporer semakin kompleks, menyaratkan keterlibatan metode burhan dan tentu tidak lagi hanya bisa disandarkan pada proposisi-proposisi yang bersifat metafisik dan teks dalam pengertiannya yang ketat.

Akan tetapi di sisi lain, ilmu-ilmu keagamaan (Ulûm al-dîn) sebagai bagian dari ilmu humaniora tentu tidak bisa mengikuti secara total tata kerja ilmu pengetahuan empiris-ilmiah dengan prinsip kausalitasnya. Nalar ijtihad kontemporer idealnya mempertimbangkan secara komprehensif kisi-kisi moral-spiritual dan pengalaman-pengalaman intelektual sekaligus. Epistemologi al-Qur’an mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak “bebas nilai” akan tetapi harus berorientasi pada yang ruhaniah, spiritual, moral serta mempunyai relevansi social di samping relevansi intelektual. Kalau ini yang ideal, relevan dengan gagasan Amin Abdullah tentang rumusan model hubungan sirkuler antara tradisi bayâni, ‘irfâni dan burhâni.[35] Akan tetapi sebelumnya harus dilakukan face of terhadap citra tradisi ‘irfâni yang telah banyak diselewengkan kelompok-kelompok tarekat yang banyak keluar dari mainstream tradisi tersebut.[36] Dus, tidak saja memberi landasan burhâni, tetapi juga memberi landasan ‘irfâni pada tradisi bayâni. Peradaban-peradaban Arab-Islam atau yang berafiliasi kepadanya kebanyakan berada di wilayah timur yang sering dicitrakan Barat – terlepas dari kontroversi pencitraan ini – dengan feminin, peka secara emosional dan spiritual. Karenanya penafian pendekatan ‘irfâni secara total dikhawatirkan akan terjadi penolakan. Sebaliknya, pemaduan unsur-unsur positif dari ketiga sistem nalar akan menjadi sesuatu yang bijak.

Apapun teori yang nanti dimunculkan dari sintesa tiga system nalar ini, yang terpenting adalah   membuat semuanya lebih baik, elegant, humanis, tidak terjebak pada teks dan ideology dalam pengertian yang sempit sehingga pesan Islam sebagai agama yang rahmatan lil al-‘âlamîn “tidak jauh panggang dari api”. Dan pada akhirnya élan vital dan praktek ijtihad pada masa Nabi saw. dan Sahabat bukan sekedar romantisisme.


[1] N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburg: Edinburg University Press, tt ), 59.

[2] Raphael Patai, The Arab Mind (New York: Charles Scribner’s Sons, 1983), 154 – 155.

[3] Dalam perspektif al-Jâbirî, tradisi adalah kekayaan ilmiah atau metode berfikir yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu (al-Qudâma’). Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), 24.

[4] Epistem bayâni adalah seperangkat prinsip dan aturan untuk menafsirkan dan memproduk wacana dengan logika kebahasaan sebagai basis dan sumber pengetahuan. Al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfi al-‘Arabi, 1993), 64.

[5] Qiyâs adalah mempertautkan asal (al-ashl) dengan cabang (far’), yang diketahui, nyata, riel (syâhid) dengan yang tidak diketahui (ghâib) dan musyabbah dengan musyabbah bih karena adanya ‘illah (causa yang sama).

[6] Al-Jâbirî, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam, ter. Burhan (Yogyakarta: Fakar Pustaka Baru, 2003), vi.

[7] Carol Kersten, Review terhadap Buku al-Jâbirî ”Arab-Islamic Philosophy; A Contemporery Critique, dalam WWW.Amazon.Com., diakses bulan Mei 2003.

[8] Al-Jâbirî, Post Tradisinalisme, xvi.

[9] A Luthfi al-Syaukanie,  “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer “, Paramadina, Vol. I, No. I (Juli – Desember 1998), 75 – 76. Baik strukturalisme maupun post-strukturalisme sama-sama menjadikan bahasa sebagai faktor dominan dalam objek studi. Karena keduanya mementingkan keteraturan logis, struktur yang mendasar serta makna-makna umum dan bahasa (linguistic) mempunyai pola-pola yang sama, selain bahasa itu sendiri bisa menunjuk pada fenomena-fenomena sosial tertentu. Lihat, Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context (New York: Penguin Books, 1985), 9.

[10] Untuk mengetahui lebih lengkapnya karya-karyanya lihat antara lain, al-Jâbirî, Post, XIII.

[11] Buku I triloginya adalah Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, kemudian disusul buku II dan III-nya, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah TahlîliyyahNaqdiyyah li al-Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Thaqâfah al-‘Arabiyyah, al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabi; Muhaddidah wa Tajalliyyâtuh.

[12] Nalar ‘irfâni adalah epistemologi pengetahuan yang berasal dari tradisi Persia yang mendasarkan diri pada ilhâm, kasyf, pengalaman langsung (direct experience) yang bersifat intuitif sebagai sumber pengetahuan. Lihat, al-Jâbirî, Bunyah, 251.

[13] Epistem burhâni adalah sistem pengetahuan yang diadopsi dari tradisi Yunani. Dalam artian general, ia adalah aktivitas nalar untuk menetapkan kebenaran proposisi tertentu. Lihat Ibid., 383.

[14] Ibid., 13.

[15]Apalagi kenyataan bahwa pembakuan bahasa – dengan alasan kekhawatiran terhadap kemurnian bahasa – diadopsi dari Arab Badui, masyarakat primitif  yang bahasanya bercirikan a-historis dan fisik sesuai dengan corak kehidupan mereka yang bersifat materiil dan tertutup. Lihat, Al-Jâbirî, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi (Libanon: Markaz Dirâsat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 77.

[16]Lebih detailnya bisa dilihat dalam, ibid., 124.

[17]Al-Jâbirî, Bunyah, 53dan 63. 

[18]Ibid., 56.

[19]Ibid., 41.

[20]Ibid., 63 dan 105.

[21]Sulthah al-Ashl (kuasa asal) bisa merujuk pada sulthah al-salaf atau pada teori qiyâs. ″Kuasa salaf″ sendiri pada dasarnya adalah ″kuasa lafaz″, karena kaum salaf  mentransfer ″kuasa-nya″ kepada generasi sesudahnya (khalaf) melalui piranti khabar, yakni lafaz itu sendiri. Lihat, Ibid., 563. Karena itu otoritas yang dipatuhi dalam bingkai peradaban Arab-Islam tidak saja otoritas lafaz/teks dalam pengertiannya yang divine dan primer, akan tetapi bahkan yang profan dan sekunder seperti qawl al-salaf al-shâlih.

[22]Ibid., 560 – 561.

[23]Ibid., 158, 171.

[24]Ibid., 172.

[25]Ibid., 562.

[26]Ibid., 110.

[27]Ibid., 567; Idem, al-Turâts wa al-hadâtsah; Dirâsât … wa Munâqasyat (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 188.

[28]Al-Jâbirî, al-Dîn wa al-Dawlah wa Tathbîq al-Syarî’ah (Libanon: Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1996), 157.

[29]Al-Jâbirî, Bunyah, 372,379. 

[30]Ibid., 522, 567.

[31]Ibid., 376. Lihat juga John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive (New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons, 1905), 195 dan Irving M. Copy, Introduction to Logic (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978), 3.

[32]Al-Jâbirî, Bunyah, 563.

[33]Ibid., 244.

[34] Ibid., 558.

[35]Hubungan sirkuler antara tradisi bayâni, ‘irfani dan burhâni menurut Amin Abdullah ditandai dengan adanya kerja sama antara ketiga tradisi pemikiran tersebut dengan masing-masing memberi masukan dan kritik yang membangun terhadap yang lain. Hal ini dilakukan dalam suasana dialogis, jauh dari eksklusifitas, dominasi dan hegemoni. Lihat M. Amin Abdullah, ″al-Ta’wil al-‘Ilmi ; Ke Arah Paradigma Penafsiran Kitab Suci ,″ dalam al-Jami’ah, 39 (Juli – Desember), 387.

[36] Lihat, Ibid., 375.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: