Doktrin Aswaja NU, Budaya Kerja dan Pengembangan Sumber Daya Insani

DOKTRIN ASWAJA NU, BUDAYA KERJA DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA INSANI

Oleh: Abid Rohmanu§

Era millinium ke tiga ini masyarakat Indonesia benar-benar telah hidup dalam sebuah global village yang ditandai dengan merebaknya aplikasi konsep globalisasi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk di antaranya sektor ekonomi, karena itu kita kenal istilah” global market” dan “global ekonomi”. Kondisi ini merupakan sebuah realitas objektif yang tak bisa dihandiri. Globalisasi ekonomi merupakan tantangan bersama, yakni bagaimana masyarakat bisa berperan secara kompetitif dalam persaingan global dan tidak hanya sekedar menjadi konsumen di tengah sumber daya alam yang melimpah. Ini mengisyarakatkan pentingnya kualitas sumber daya manusia (modal insani) dalam mengolah sumber-sumber daya alam.

Berbicara tentang sumber daya manusia tidak akan terlepas dari faktor agama dan keberagamaan. [1] Hal tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious, dan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa komposisi terbesar adalah masyarakat pesantren dengan ideologi par excellence Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Agama dalam hal ini menjadi

dari objek materia ‘sumber daya manusia’ (SDM) dan hasil kajiannya berupa budaya kerja dan teologi kerja.[2]

Wacana dan kajian tentang relasi agama dan ekonomi dengan titik tekan pada ‘modal insani’ bisa dikatakan belum semarak,[3] wa bi al-khusus, relasi doktrin aswaja dengan pengembangan human resources. Hal ini sangat ironis, karena pelaku ekonomi di Indonesia mayoritas adalah konsen dengan nilai-nilai keagamaan dengan haluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Di tengah keterpurukan ekonomi global, nasional dan lokal (baca: masyarakat pesantren), terasa penting untuk mempertanyakan dan merevitalisasi  peran agama (baca: paham aswaja) dalam membentuk mentalitas kompetitif pelaku ekonomi dalam konteks keindonesiaan.

Sumber Daya Insani dalam Pengembangan Ekonomi

Dalam wacana ekonomi dikenal tiga sumber daya; sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB). Di antara ketiga sumber daya tersebut, sumber daya manusia adalah energi istimewa yang berfungsi sebagai input kerja, yakni kerja sebagai proses penciptaan, atau pembentukan nilai baru pada setiap unit sumber daya, pengubahan atau penambahan nilai pada pada suatu unit alat pemenuhan kebutuhan. SDM atau human resource dimaknai sebagai: “the people who are ready, willing, and able to contribute to organizational goal,”[4] yakni mereka yang siap, mempunyai i’tikad dan mempunyai kemampuan untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan organisasi. Kata organisasi di sini tentu mempunyai cakupan makna yang luas.

Karena itu maka kualitas SDM (modal insani atau human resource ) sebagai bagian dari faktor produksi  memegang peranan penting terhadap sumber daya yang lain. Ketersediaan SDA (modal dan fasilitas) tidak menjamin adanya kesejahteraan ekonomi dan bahkan, berkurang dan habisnya daya dukung alam – adanya sumber alam yang tidak bisa diperbaharui dan rusaknya ekosistem alam – bisa berakibat pada punahnya manusia. Berkaitan dengan relasi SDM, SDA dan SDB ini, kita bisa melihat kasus Indonesia di satu sisi dengan Jepang atau Korea Selatan di sisi yang lain.

Manusia sebagai bagian dari sumber daya adalah unik dan penuh misteri. Akan tetapi secara umum, manusia sebagai pribadi terbentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan; baik lingkungan  vertikal (faktor genetika dan tradisi, termasuk persepsi keagamaan), lingkungan horizontal (faktor geografik, fisik dan sosial) maupun lingkungan kesejarahan.[5] Ibn Khaldun lewat teori sosiologinya menyatakan bahwa al-rajul ibn bi`atih (manusia sebagai pribadi adalah anak zaman dan lingkungannya).[6] Pemikiran, sikap dan perilaku ekonominya tidak bisa lepas dari pengaruh afiliasi kelas dan internalisasi budaya sekitar.

berdasar hal di atas, kualitas sumber daya manusia tidak selalu tercermin dalam ketrampilan dan fisik manusia akan tetapi juga pendidikan, kadar pengetahuan, pengalaman/kematangan dan sikap atau nilai-nilai yang dimilikinya. Berkaitan dengan unsur yang terakhir, pakar ekonomi memandang pentingnya ”etos kerja” dari human capital. Etos dalam pengertian sosiologis adalah “sekumpulan ciri-ciri budaya, yang dengannya suatu kelompok membedakan dirinya dan menunjukkan jati dirinya yang berbeda dengan kelompok-kelompok yang lain”. Definisi lain menyebutkan sebagai “sikap dasar seseorang atau kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu”.[7] Etos dapat bersumber dari nilai-nilai keagamaan atau juga buah dari perbincangan serta refleksi yang cukup panjang akhirnya diterima oleh individu dan komunitas.  Etos kerja dalam tulisan ini lebih ditekankan pada sumber nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang telah diinternalisasi oleh kelompok budaya tertentu. Etos kerja berkaitan erat dengan budaya kerja yang mewujud dalam produktifitas[8] dan kualitas kerja. Sebagai budaya, etos kerja bisa dinilai dan diukur sebagai tinggi atau rendah, kuat atau lemah.

Budaya kerja secara umum didefinisikan sebagai sekolompok pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efesiensi kerja dan kerja sama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat. Selanjutnya budaya kerja dapat dibagi menjadi; sikap terhadap pekerjaan (kesukaan terhadap kerja atau keterpaksaan) dan perilaku pada waktu kerja (disiplin, berdedikasi, bertanggung jawab atau sebaliknya dan yang lainnya). Menurut Budhi Parmitha, tingkat pendidikan (X) tidak langsung korelatif dengan pertumbuhan ekonomi (Y), akan tetapi harus ada variable Z yang memungkinkan X berhubungan dengan Y. Variable Z tersebut adalah ‘budaya kerja’.[9]

Ada banyak anggapan dasar tentang kerja yang bersifat korelatif dengan sikap terhadap pekerjaan; sikap negatif atau positif terhadap pekerjaan. Seperti anggapan bahwa kerja adalah hukuman atau beban menimbulkan sikap negatif terhadap kerja yang mewujud dalam sikap menolak kerja dan kerja yang dipersepsi sebagai hal yang menakutkan dan membosankan. Sementara anggapan bahwa kerja adalah ibadah, aktualisasi diri dan kewajiban misalnya, akan menimbulkan sikap positif terhadap kerja sebagaimana ia menjadi perwujudan rasa syukur, pengorbanan dan kerja untuk menaati perintah dan memenuhi janji.[10] Anggapan yang terakhir inilah yang bersifat otonom, yakni kerja menjadi bagain dari kesadaran diri yang berada pada tidak saja pada ruang kognitif akan tetapi juga ruang belief yang karenanya tidak sekedar terpengaruh oleh faktor reward and punishment.

Doktrin Aswaja NU dan Pembentukan Budaya Kerja

NU adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Basis massanya, baik yang bersifat jama’ah atau jam’iyyah, diikat oleh ideologi bersama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja). Karenanya NU dan aswaja tidak mungkin terpisahkan. Kemunculan NU sebagai jam’iyyah utamanya adalah untuk memelihara dan mengembangkan doktrin aswaja di tengah serbuah paham lain yang tidak ramah terhadap realitas tradisi lokal. Aswaja sebagaimana dibakukan dalam dokumen khittah NU adalah al-I’tiqa>d ila al-usus al-tsala>thah (bertauhid mengikuti Imam al-Asy’ari dan al-Ma>turidi, berfiqh mengikuti salah satu mazab empat dan bertasawuf mengikuti al-Ghaza>li dan al-Junayd al-Baghdadi).[11]

Meminjam kategori sosial Geertz, masyarakat NU adalah masyarakat santri/masyarakat pesantren sebagai imbangan dari pilahan sosial lainnya; priyayi dan abangan. Masyarakat santri yang merupakan komposisi terbesar masyarakat Indonesia ini dinilai banyak pihak bersifat tradisional dan dalam percaturan perekonomian modern bersifat subordinatif. Tradisionalisme santri ditandai dengan orientasi berlebihan pada mazab dari pada rasionalitas, pada takdir dari pada ikhtiyar, pada dimensi eskatologis  dari pada dimensi soteriology[12] dan pada terms of precept dari pada terms of principles.[13] Pendapat lain menyatakan bahwa konsep al-silsilah dalam pola keberagamaan masyarakat santri turut menguatkan tradisionalisme mereka.

Pendapat di atas tentu tidak bisa dinilai benar atau salah secara mutlak. Antropolog Mitsuo Nakamura misalnya, menilai bahwa walaupun keberagamaan mereka berpolakan silsilah/transmisi, tidak berarti muatan yang ditransmisikan juga bersifat tradisional dan tanpa kritik serta re-evaluasi terhadap tradisi. Tidak pula mereka abai dengan kegiatan perekonomian yang bercirikan rasionalitas. Geertz sendiri dalam penelitian yang lain justru membuktikan bahwa masyarakat santri di Mojokuto telah menunjukkan mentalitas kemandirian, entrepreneurship. Menurutnya, mereka telah terlibat dalam aktivitas ekonomi dan industri dengan mengembangkan organisasi kerja yang rasional.[14]

Hal serupa juga telah ditunjukkan oleh para Founding Father NU. Sebagai cikal bakal NU, K.H. Abdul Wahab Hasbullah selain mendirikan Madrasah (Nahd}ah al-Wat}an, 1916), beliau juga mendirikan asosiasi yang disebut dengan Nahd}ah al-Tujja>r (1918).[15] Asosiasi yang didirikan ini paling tidak menunjukkan bahwa para pendiri Jam’iyyah ini tidak alergi dengan aktivitas ekonomi, aktivitas keduniawiaan yang bersifat profan. Bahkan ada kesan bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian dari ungkapan spiritualitas dan media da’wah serta sosialisasi semangat aswaja. Dalam rentang waktu 1938 – 1939, NU juga menelurkan seperangkat program yang disebut dengan “Gerakan Khayr Ummah”. Program ini dimaksudkan untuk penguatan spirit kerja sama ekonomi antar masyarakat dengan upaya peningkatan kesadaran nasional dan basis moralitas berdasar tiga prinsip: kejujuran, keimanan (religiusitas) dan solidaritas. Untuk mengkomunikasikan spirit kerja sama ekonomi ini, secara kreatif NU menerbitkan tiga majalah: Kemudi, Berita Nahdlatul Ulama dan Suara Nahdlatul Ulama.[16]

Dalam Khittah Nahdlatul Ulama sebagai ungkapan formal dan subtantif paham aswaja dinyatakan juga bahwa persoalan ekonomi merupakan bagian dari bidang garap Nahdlatul Ulama. Dalam Statuuten No. 1926 disebutkan: “mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sara’ agama Islam”.[17] Ikhtiyar atau program ini dibarengi dengan rumusan perilaku kemasyarakatan, di antaranya: mendahulukan kepentingan bersama (solidaritas), keikhlasan dalam berkhidmah, persaudaraan dan persatuan, loyalitas dan menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Selain itu NU juga mengembangkan 4 sikap prinsip kemasyarakatan; sikap tawa>sut}, sikap tasa>muh}, tawa>zun dan amar ma’ru>f nahi munkar.[18] Semua itu didasari dari adanya keprihatinan atas nasib masyarakat yang terjerat dalam keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.

Berbagai gambaran di atas, baik yang yang bersifat doktriner atau yang merupakan pengalaman sejarah, pada kenyataannya belum mampu mengubah kesan dan realitas tradisionalisme dan kejumudan ekonomi kelompok santri di tengah dinamika perubahan ekonomi kontemporer. Karena itu wajar bila muncul pemikiran-pemikiran alternatif dan liberal, khususnya yang datang dari kelompok muda yang mencoba melakukan penyegaran terhadap tradisi dan paham aswaja mengingat pengaruh signifikan  paham ini dalam membentuk mentalitas penganutnya, termasuk dalam hal budaya dan teologi kerja.

Nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya tradisional tidak sepenuhnya menghambat kemajuan ekonomi. Ini paling tidak telah ditunjukkan oleh Jepang dengan menjadikan nilai-nilai agama Tokugawa sebagai basis modernisasi ekonomi. Weber juga menegaskan berdasar penelitiannya fungsi dan peran etika protestan dalam mendukung kemajuan ekonomi Eropa. Karena itu sebenarnya yang diperlukan adalah pengelolaan dan modernisasi tradisi, termasuk bagaimana menerjemahkan wawasan etik aswaja ke dalam  perilaku dan aktivitas perekonomian. Ini selaras dengan pernyataan Dawam bahwa tradisi kejujuran, solidaritas (kekeluargaan), keikhlasan, kemandirian dan kesederhanaan misalnya, mempunyai nilai positif bagi pengembangan perekonomian dan bisa menjadi dasar atau model lembaga perekonomian modern semisal perusahaan. Dalam wacana tentang SDM, kesadaran otonom di atas, termasuk kesadaran bahwa kerja merupakan bagian dari ibadah (religious calling) dan pencarian keselamatan (salvation) merupakan model duty as standard.[19] Model ini dinilai lebih efektif dalam membangun budaya kerja, karena pelaku ekonomi terikat secara otonom oleh kewajiban yang lepas dari dorongan dari luar, reward and punishment.

Akan tetapi sayangnya, harus diakui bahwa wawasan etik aswaja tersebut – utamanya dalam konteks perekonomian – masih sekedar ditransmisikan pada tataran kognitif dari satu generasi ke generasi yang lain dan belum masuk pada ruang belief masyarakat santri. wawasan etis aswaja selama ini belum diterjemahkan pada budaya kerja dan etos ekonomi secara spesifik. Aktivitas-aktivitas Kaum Nahdliyyin, baik dalam skala individu atau kolektif, masih didominasi kegiatan keagamaan dan ritual murni atau yang bersifat politis dan masih jarang yang diorientasikan pada pemberdayaan ekonomi sebagai bagian dari da’wah sosial. Ungkapan bahwa “politik merupakan ungkapan spiritualitas Islam” kelihatan lebih menggema dari pada – meminjam seruan Ismail Faruqi – “tindakan ekonomi merupakan ungkapan spiritualitas Islam”.[20]

Doktrin al-I’tiqa>d ila al-usus al-tsala>thah yang tidak dipahami secara kreatif dan kontekstual juga dinilai memberikan kontribusi terhadap keterbelakangan masyarakat santri dalam perekonomian. Doktrin tersebut seolah menjadi mekanisme pembakuan nalar kelompok ini. Dominasi teologi Asy’ariyah misalnya, lebih banyak membawa pada paham jabariyah di mana perbuatan manusia lebih banyak ditentukan oleh Tuhan tanpa banyak usaha-usaha yang rasional dank keras untuk menjemput takdir Tuhan. Begitu juga dengan pola tasawwuf  konvensional yang dikembangkan lebih banyak mengambil jarak dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan profan dan terfokus pada kesalehan yang bersifat individual. Karena itu adanya upaya kalangan santri terpelajar yang mulai mengorientasikan pada teologi rasional, dan usaha untuk memberikan pemaknaan tasawuf yang lebih membumi (worldly asceticism) pantas untuk mendapatkan apresiasi tersendiri.

Dominasi keberagamaan yang bersifat fiqhiyyah – orientasi pada halal-haram dengan membatasi pada bingkai mazab al-Sha>fi’i – juga merupakan persoalan tersendiri. Persoalan tersebut sesungguhnya terletak pada pola nalar fiqhiyyah yang dikembangkan. Pola nalar yang dikembangkan dalam mempersepsi fiqh didominasi oleh – meminjam klasifikasi epsitem Abid al-Jabiri – epistem baya>ni dengan ciri ketundukan pada otoritas teks dan otoritas salaf. Hal ini mengabaikan rasionalitas, peran nalar dan realitas. Setiap realitas selalu bersifat rasional dan rasionalitas merupakan ciri yang tak terbantahkan dari masyarakat ekonomi.

Fiqh sebagai the king of Islamic Sciences seharusnya dapat menjadi starting point untuk mempersepsi realitas secara dinamis dan kontekstual. Kenyataannya pandangan ke-fiqh-an masyarakat pesantren masih membelenggu dengan pendekatan yang masih bersifat normatif. Fiqh lebih diposisikan sebagai alat legislasi, pemilah antara yang halal, haram dan syubhat praktek ekonomi yang datang dari luar. Fiqh tidak pernah dijadikan perangkat keilmuan yang bisa memberikan inspirasi dan kreativitas ekonomi. Fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara yang bersifat ‘amali (praktis) banyak membahas perilaku ekonomi atau yang disebut dengan fiqh mu’amalah. Khazanah tradisi ini, sayangnya, kurang mendapatkan apresiasi dan reaktualisasi yang kontekstual dari masyarakat pesantren. Fiqh sebagai refleksi logis sosial budaya era tadwi>n cenderung dianggap divine dan final, sementara kebanyakan bentuk dan subtansi lembaga-lembaga perekonomian modern beserta konsepnya bersifat baru yang tidak pararel dengan khazanah klasik.[21] Akibatnya, aset ekonomi masyarakat pesantren yang tidak sedikit, seperti saluran-saluran ekonomi zakat, infaq, shadaqah dan wakaf belum dapat didayagunakan secara optimal. Harta wakaf misalnya, bisa dipikirkan lebih jauh ke arah harta produktif yang bisa dikembangkan lewat saluran-saluran investasi yang sesuai sehingga bisa dioptimalkan kemanfaatannya bagi masyarakat. Hal ini jelas membutuhkan bekal wawasan ke-fiqh-an yang progresif.

Ikhtitam

Dari percikan pemikiran di atas kiranya dapat dipahami pentingnya menjadikan aswaja sebagai basis wawasan etik pengembangan sumber daya insani dalam percaturan perekonomian modern. Agama, dalam hal ini terbingkai dalam doktrin aswaja NU, diyakini bisa memberikan pengaruh positif dalam aktivitas dan gerakan ekonomi rakyat. Pengaruh tersebut khususnya dalam bentuk transendensi kerja dan kesadaran tugas kekhalifahan manusia. Ini selaras dengan tesis Weber tentang hubungan positif antara etika protestan dengan perkembangan ekonomi Eropa.

Dalam kerangka di atas, “gagasan baru aswaja” yang dipelopori Said Agil Siraj semakin menemukan momentumnya. Aswaja dalam tafsir baru lebih dipahami sebagai metode berpikir (manha>j al-fikr) yang berprinsip pada moderasi, keadilan dan toleransi, bukan mazab yang membelenggu. Sementara orientasi yang dikembangkan adalah rasional-progresif, lebih aktif dan asketis, sehingga kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi dipahami karena faktor manusia sendiri.[22]

Walaupun begitu, paham aswaja bukanlah satu-satunya faktor pembentuk etos dan budaya kerja. Kondisi sosial ekonomi juga turut membentuk etos kerja. Muslim Abdurrahman menyatakan bahwa tanggung jawab kita bersama tidak saja bagaimana menumbuhkan etos kerja untuk peningkatan produktifitas secara efesien dan rasional, namun juga bagaimana menciptakan humanisasi kerja yang tetap mampu memelihara nilai, harkat dan martabat manusia.[23] Karena apalah manfaatnya etos kerja yang tinggi, bila dibalik itu terjadi eksploitasi manusia dalam proses pengelolaan dan pendayagunaan SDM. Wallah A’lam!


  • § Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah INSURI dan STAIN Ponorogo dan Peserta Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

[1] Ada banyak disiplin keilmuan selain agama yang memberikan kontribusi dalam pembentukan wacana dan teori sumber daya manusia, di antaranya filsafat, sosiologi, antropologi, hokum, psikologi dan yang lainnya.

[2] Talizidhuhu Ndraha, Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 6.

[3] Kajian tentang relasi agama dan ekonomi di antaranya bisa dibaca karya Mukti Ali, “Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia” dalam Wahyuni Nafis et. Al., Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A. (Jakarta: Paramadina, 1995), M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. (Bandung: Mizan, 1999), dan Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).

[4] Talizidhuhu Ndraha, Pengantar, 9.

[5] Ibid.

[6] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style; a Social Perspective (America: G.K. Hall and Co. Boston, 1981), viii.

[7] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan perilaku Politik Bangsa (Bandung: Mizan, 1999), 390.

[8] Produktifitas didefinisikan antara lain sebagai suatu sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Ini selaras dengan Hadis Nabi – terlepas dari lemahnya sanad hadis ini – yang menyatakan : “man kana yawmuhu mithla amsih fa huwa maghbun, wa man kana sharran min amsih fa huwa mal’un”. Sayangnya hadis ini belum dipersepsi secara aplikatif oleh kebanyakan masyarakat muslim.

[9] Talizidhuhu Ndraha, Pengantar, 81.

[10] Ibid., 85.

[11] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (Surabaya: Khalista, 2006), 25.

[12] Perhatian terhadap hidup “kedisinian” tidak dinilai sebagai pengejaran takdir keselamatan dari Tuhan, akan tetapi lebih berorientasi pada teologi ‘hari pembalasan’ dengan pemenuhan detail-detail aturan hukum.

[13] Orientasi terms of precept mempunyai makna orientasi berlebihan pada detail-detail aturan hukum dan secara tradisional terma-terma precept ini tidak digeneralisasikan pada prinsip-prinsip. Lihat Mark Gould, “Understanding Jihad”, Policy Review, (February and March 2005), 16.

[14] Menurut penelitian Geertz, pasar sebagai pusat bisnis di Mojokuto sebagian besar diisi oleh kaum santri. Dan di daerah tersebut lusinan pondok pesantren terlibat dengan kegiatan industry pembatikan dan pembuatan sigaret. Lihat Roland Robertson (ed.), Agama Dalam Analisa dan Intrpretasi Sosiologis, terj. Achmad fedyani Saifuddin (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 204.

[15] Lukman Hakim, Perlawanan Islam Kultural (Surabaya: Pustaka Eureka, 2004), 19.

[16] Faisal Isma’il, Islamic Traditionalism in Indonesia; a Study of the Nahdlatul Ulama’s Early History  and  Religious Ideology (1926 – 1950) (Jakarta: Badan Litbang Agama  dan Diklat Keagamaan Depag R.I., 2003), 38.

[17] Abdul Muchith Muzadi, NU, 28.

[18] Ibid., 26-27.

[19] Talizidhuhu Ndraha, Pengantar, 182.

[20] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996), 575.

[21] Abid Rohmanu, “Fiqh dan Tantangan Global”, dalam Aula, No. 05 (Mei, 2003), 81.

[22] Lihat Laode Ida, NU Muda; Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), 155.

[23] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif., 263.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: