Orasi Ilmiah
RELASI FIKIH DAN MORALITAS DALAM KONTEKS APLIKASI HUKUM JIHAD
(Disampaikan dalam Rangka Wisuda Sarjana S-1 Semester Gasal Tahun Akademi 2010/2011 STAIN Ponorogo)
Oleh: Abid Rohmanu
السلا م عليكم ورحمة الله وبر كاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد القائل فى حديثه الكريم:” افضل الجهاد أن تجاهد نفسك و هواك فى ذات الله تعالى , وبعد
Yth. Bupati dan Muspida Kabupaten Ponorogo, Anggota Senat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, Pimpinan Perguruan Tinggi atau yang mewakili, Kepala Dinas dan Instansi se Kabupaten Ponorogo, Pejabat Struktural dan Fungsional di lingkungan STAIN Ponorogo, Pengurus dan anggota Dharma Wanita Persatuan Unit STAIN Ponorogo, Pengurus Ikatan Alumni IAIN/STAIN (IKAIS) Ponorogo, Pengurus Organisasi Kemahasiswaan STAIN Ponorogo, Bapak, Ibu orang tua/Wali Wisudawan beserta keluarga, serta Wisudawan dan Wisudawati yang berbahagia.
Mengawali orasi ilmiah ini, izinkan saya mengucapkan selamat kepada para wisudawan dan wisudawati atas keberhasilan anda dalam menyelesaikan studi di STAIN Ponorogo. Ucapan selamat juga saya sampaikan kepada seluruh civitas akademika STAIN Ponorogo yang telah mampu mempersembahkan alumninya kepada keluarga wisudawan, masyarakat, bangsa dan negara tercinta.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan yang berbahagia …
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan mencoba mengangkat wacana tentang jihad, yakni bagaimana “Mempertautkan Fikih dan Moralitas dalam Konteks Hukum Jihad”. Tema dan pemikiran ini dilatarbelakangi oleh maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan atas nama jihad yang dilakukan oleh sebagian kelompok muslim yang berhaluan radik dan puritan yang ditujukan tidak saja kepada nonmuslim,
Jihad dalam bentuk kekerasan dan terorisme bagaimanapun sulit untuk dibenarkan dari sudut pandang apapun. Kekerasan dan terorisme merupakan aksi yang kontra produktif bagi prinsip pembangunan peradaban manusia. Jihad mestinya, justru diorientasikan pada pembentukan spirit dan etos bagi pembangunan peradaban manusia, dan bukan untuk menghancurkannya. Ini selaras dengan idealisasi fikih sebagai driving force bagi munculnya iklim keadilan, produktivitas, humanitas, spiritualitas, persaudaraan, dan masyarakat yang demokratis.
Hadirin, Hadirat dan Para Wisudawan wisudawati yang berbahagia ….
Konsepsi “jihad” mempunyai banyak varian makna yang makna generiknya adalah “pengerahan maksimal kemampuan (al-t}a>qah) untuk mendapatkan kebaikan”. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa jihad lebih banyak dibawa pada makna perang dan militer sebagaimana terbaca pada ungkapan jiha>d al-‘aduw, dan jiha>d fi sabi>lilla>h. Dalam buku-buku fikih, kita>b al-jiha>d biasanya bersubtansikan tentang aturan perang, perlakuan terhadap tawanan, pembagian harta rampasan perang (ghani>mah), jizyah, dan pembagian wilayah menjadi da>r al-Isla>m (wilayah Islam) dan da>r al-h}arb (wilayah perang). Al-Sha>fi’i, misalnya, adalah sosok yuris pertama yang yang mengizinkan aplikasi jihad pada perang ofensif terhadap nonmuslim, yakni kelompok pagan Arab. Sementara itu al-Nawawi menyatakan bahwa jihad adalah bentuk da’wah yang bersifat qahriyah (paksaan) kepada nonmuslim, atau dalam spektrum yang lebih luas, kepada muslim yang dinilai menyeleweng dari jalan yang benar.
Pemaknaan yang bersifat fisik dan militer terhadap konsepsi jihad tidak terlepas dari interpretasi para ahli hukum terhadap teks-teks jihad dalam al-Qur’an dan hadis. Walaupun dalam kedua sumber hukum ini, “jihad” menampilkan beragam makna, atau walaupun banyak terma yang menunjukkan pada makna soliter “perang”, seperti qita>l, h}arb, ghazwah, sariyah dan yang semakna, tetap saja jihad identik dengan perang, militer dan invasi.
Hadirin, dan para wisudawan wisudawati …..
Dalam konteks al-Qur’an, ayat-ayat jihad diturunkan dalan dua fase: fase Mekkah dan fase Madinah. Pada fase Mekah, jihad lebih berdimensi moral dan spiritual. Ini sebagaimana terpotret dalam surat al-Furqan (25): 52 dan surat al-Nahl (16): 110:
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (٥٢
Artinya: Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan Jihad yang besar (al-Furqa>n [25]: 52)
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (١١٠
Artinya: Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Nah}l [16]: 110).
Pada surat al-Furqan: 52, jihad lebih dimaknai sebagai “menampilkan hujjah-hujjah al-Qur’an” di depan kelompok pagan Arab. Ini selaras dengan pendapat yang menyatakan bahwa pesan utama surat al-Furqan – sesuai dengan namanya – adalah menampilkan al-Qur’an sebagai kriterium pembeda antara yang hak dan yang batil, dan karenanya al-Qur’an adalah senjata perjuangan. Sementara itu, dalam surat selanjutnya, al-Nahl (16): 110, kata jihad dipersandingkan dengan kesabaran, yakni jihad dengan kesabaran, kekuatan dan ketetapan hati dalam menghadapi kesulitan dan rintangan. Pemahaman ayat-ayat jihad fase Mekah di atas selaras dengan hadis Nabi :
افضل الجهاد قول الحق عند سلطان جائر
افضل الجهاد أن تجاهد نفسك و هواك فى ذات الله تعالى
Sebaik baik jihad adalah keberanian menyampaiakan kebenaran walaupun di depan penguasa yang tiranik, dan sebaik baik jihad adalah kemampuan melawan tendensi destruktif dalam diri manusia.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan yang berbahagia …
Jihad dalam makna perang baru diizinkan tidak berselang lama Nabi hijrah ke Madinah. Iizin tersebut diberikan oleh Allah karena umat Islam telah dizalimi oleh kelompok pagan Arab. Perintah eksplisit perang kemudian dinyatakan dalam surat al-Baqarah (2): 191:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
Artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah);
Ayat-ayat jihad pada fase Madinah di ataslah yang sering dijadikan alat legitimasi tindak kekerasan atas nama jihad. Bahkan dengan dukungan konsep nasakh, ayat-ayat jihad yang lebih bernuansa moral-spiritual sebagaimana turun pada fase Mekah, dinilai telah terhapus oleh “ayat-ayat pedang”. Padahal, umumnya ayat-ayat madaniyyah cenderung bersifat legal-formal, dan sangat terikat dengan kondisi sosiologis kala itu.
Kondisi sosiologis para ahli fikih, juga ikut meneguhkan pemahaman ayat-ayat jihad pada fase Madinah sebagai ayat-ayat pedang. Hal ini disebabkan karena para ahli fikih sangat terikat dengan background historis pada masanya, masa abad pertengahan. Pada abad pertengahan, dengan tiadanya pakta perdamaian, umat Islam merasa dalam situasi perang terus menerus dengan bangsa dan dinasti lain. Sementara di sisi lain, budaya menaklukkan dan mendominasi bangsa lain merupakan bagian dari naluri sosiologis kala itu.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan yang berbahagia …
Karena pemahaman yang bersifat literalistik dengan mengabaikan dimensi kesejarahan doktrin jihad, konsep dan aplikasi jihad kelompok muslim puritan belum beranjak dari nuansa perang dan kekerasan sebagaimana terumuskan dalam kitab-kitab klasik. Ini sebagaimana tergambar dari kelompok-kelompok muslim garis keras dan muslim puritan kontemporer yang banyak melakukan aksi kekerasan dan teror atas nama jihad. Karena tindakan dan aksi tersebut, muncul banyak kesalahpahaman terhadap konsepsi jihad, dan bahkan terhadap Islam itu sendiri. Stigma bahwa Islam adalah the religion of violence and terrorism, jihad identik dengan holy war (perang suci), dan jihad merupakan simtom dari benturan peradaban (the clash of civilizations) sering kita dengar dalam berbagai media.
Aksi-aksi teror atas nama agama pada dasarnya lebih banyak disemangati oleh teologi kebencian dan teologi intoleran, daripada spirit keagamaan yang bersifat genuin. Teologi intoleran adalah sistem teologi yang tertutup yang didasarkan pada pembacaan dan pemahaman terhadap al-Qur’an yang dilakukan secara selektif dan isolatif sekiranya bisa mendukung ideologi mereka. Pembacaan teks-teks jihad secara literal dan a-historis menghasilkan pembacaan yang bersifat eksklusif. Padahal, Pembacaan terhadap teks jihad tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai moral dan konteks historis yang mengitarinya.
Selain urgensi konteks sosiologis, baik konteks penurunan atau pembacaan teks, terasa penting untuk melandasi praktek jihad dengan persepsi dan visualisasi Tuhan sebagai Yang Maha Indah (beauty), Yang Maha baik dan Yang Maha Penuh Kasih sebagai alternatif persepsi ketuhanan yang lebih menonjolkan kemahaperkasaan Tuhan semata. Menurut Abou El Fadl, aspek feminim ketuhanan tersebut akan menkostruk nalar teologis yang lebih peka terhadap realitas kemanusiaan. Praktek jihad seyogyanya juga didasarkan pada prinsip otonomi manusia dalam menilai dan menentukan tindakannya. Tuhan mengintervensi manusia dalam bentuk pemberian potensi nalar, hati nurani dan kesadaran, bukan intervensi yang menafikan otonomi manusia. Dengan dasar teologi yang humanis dan rasional, maka fikih dan utamanya jihad bisa menjadi instrumen memanusiakan manusia(liberatif), bukan hanya untuk melayani Tuhan.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan wisudawati yang berbahagia …
Berdasar paparan sebelunya, penting untuk membedakan konsepsi jihad sebagai sebuah prinsip (jihad as principle) dan jihad sebagai sebuah institusi (jihad as institution). Jihad sebagai sebuah prinsip adalah konsep yang bersifat abstrak dan general yang tidak terbatas pada aplikasi yang bersifat tunggal. Mengaplikasikan jihad sebagai sebuah prinsip pada situasi konkrit, tentu mensyaratkan kebijaksanaan dan pemahaman terhadap implikasinya dari berbagai sudut pandang. Sebaliknya, jihad sebagai sebuah intitusi, aplikasinya bersifat konkrit yang dalam konteks kontemporer sering kali hanya dipakai untuk menyokong agenda dan ideologi tertentu.
Jihad yang bermakna perjuangan untuk mengatasi kesulitan mempunyai dimensi internal, sosial dan institusional.
a. Dimensi internal : yakni perjuangan melawan tendensi negatif dan destruktif pada diri sendiri, Jiha>d al-nafs, perjuangan untuk menjadi hamba Tuhan yang baik dan taat.
b. Dimensi sosial : yakni perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial, mencoba untuk menjadi bagian dari “solusi” di tengah kehidupan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti kerja-kerja sosial, menulis dan lyang ainnya.
c. Dimensi institusional : perlawanan dan pembelaan diri secara fisik dari penindasan.
Jihad sebagai sebuah prinsip selain memiliki dimensi internal, jiha>d al-nafs, juga mempunyai relevansi sosial. Model jihad ini lebih bermuatan etis untuk merealisasikan keadilan sosial. Relevansi jihad dengan keadilan sosial bisa bermakna sebagai berikut :
a. Jika seseorang menempati pucuk pimpinan atau kekuasaan, jihad bermakna melakukan sesuatu secara benar, yakni menjadi bagian dari “solusi” dan bukan malah sebaliknya.
b. Jihad bagi individu bisa bermakna keberanian untuk menyatakan kebenaran walau di depan penguasa yang tiranik.
c. Bagi ulama, dan sarjana agama, prinsip jihad bermakna tidak menjadikan agama, atau otoritas keagamaan untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau partisan. Akan tetapi sebaliknya, bagaimana ikut mempromosikan kemaslahatan yang lebih luas bagi kehidupan publik.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan wisudawati yang berbahagia …
Karena itu penting untuk membudayakan jihad sebagai sebuah prinsip dalam kehidupan umat Islam. kita memang tidak mengingkari bahwa kekerasan-kekerasan atas nama agama (jihad) tidak saja disebabkan oleh pemahaman yang literalistik dan a-historis terhadap teks-teks keagamaan, akan tetapi juga disebabkan oleh arogansi dan hegemoni negara-negara Barat terhadap negara-negara muslim. Akan tetapi respon terhadap hegemoni yang dilakukan dengan kekerasan (violence) dan terorisme bukanlah counter-culture dan bukan pula counter moral value, akan tetapi merupakan aksi yang tidak berbudaya.
Resistensi terhadap hegemoni Barat seharusnya dimulai dari internal, yakni penyadaran terhadap pemerintahan yang korup, dan pemerintahan yang tidak membuka akses secara lebar terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya untuk menyelesaikan problem-problem internal. Mempersiapkan kuda (al-khayl) dalam surat al-Anfal (8) : 60
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
seharusnya dimaknai sebagai mempersiapkan pengetahuan dan teknologi, karena siapapun yang menguasai keduanya, akan bisa keluar dari jerat hegemoni dan bahkan bisa melakukan kontrol terhadap dunia.
Sebagaimana tesis Weber yang menilai adanya korelasi yang positif antara kapitalisme dan kemajuan ekonomi Barat dengan agama Kristen Protestan, spirit dan motivasi jihad sesungguhnya menyimpan energi yang luar biasa jika diarahkan pada pembangunan ethos dan spirit bagi kemajuan umat Islam. ini mengandaikan adanya pemaknaan jihad sebagai sebuah prinsip yang menyemangati semua aspek kehidupan umat, dan tidak berkutat pada aplikasi tunggal jihad dalam bentuk fisik dan peperangan. Dalam konteks pendidikan Tinggi Islam misalnya, semangat jihad ini telah direspon dalam bentuk motto di Web Dirjen Pendidikan Tinggi Islam yang berbunyi: “Peningkatan Kualitas Lulusan PTAI adalah Jihad Akbar dan Fardhu ‘ain” . Semangat jihad ini menurut saya juga telah direspon oleh seluruh civitas akademika STAIN Ponorogo dalam bentuk pengerahan segala daya upaya untuk melakukan dan menunjang proses pendidikan dan pengajaran sehingga bisa meluluskan mahasiswa yang berkualitas sebagaimana secara simbolik dirayakan pada acara dan prosesi wisuda pada pagi dan siang hari ini.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan yang berbahagia …
Segenap daya upaya yang dikerahkan para wisudawan dan wisudawati sehingga mampu lulus dari STAIN Ponorogo adalah bentuk dari jihad yang telah dilakukan. Tentu tidak mudah, untuk menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dengan bobot keseluruhan mencapai 150 – 160 SKS. Belum lagi tugas akhir yang sering kali menjadi momok para mahasiswa, yakni penyelesaian tugas skripsi. Semua ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa usaha keras (badhl al-juhd) diiringi dengan penundukan tendensi negatif dan destruktif dalam diri para wisudawan dan wisudawati di tengah maraknya budaya dan mental hedonis di era teknologi dan informasi ini.
Wisuda ini tentu bukan tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan pula akhir dari perjuangan para wisudawan dan wisudawati. Tetapi wisuda ini secara simbolik merupakan starting point, dan langkah awal menuju gerbang dan medan jihad yang lebih besar dan kompleks. Ini tidak saja berkaitan dengan bagaimana melakukan upaya untuk terus mengasah dan menimba ilmu pengetahuan, baik secara formal maupun informal, akan tetapi juga berkaitan dengan bagaimana mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh di tengah masyarakat. Dimensi jihad yang bersifat internal (jiha>d al-nafs) dan relasinya dengan dimensi sosial jihad sungguh tidak akan pernah berakhir. Pernyataan Rasul s.a.w. bahwa jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat, tentu hanya relevan dalam konteks prinsip dan universalitas jihad ini.
Hadirin, hadirat dan para wisudawan yang berbahagia …
Sebagai kata akhir, kiranya dapat saya tarik benang merah dari paparan di atas bahwasanya jihad merupakan konsep yang bersifat plastis dan bersayap, begitupun juga aplikasinya di tengah masyarakat. Karena itulah tafsir, konsepsi dan aplikasi jihad selalu diperebutkan oleh umat Islam, khususnya antara kelompok muslim puritan (garis keras) dan kelompok muslim moderat. Tentu kita memilih tafsir yang tetap setia pada nilai dan prinsip Islam yang rah}mah li al-‘a>lami>n tanpa menggadaikan keyakinan dan aqidah kita. Tafsir jihad yang rah}mah li al-‘a>lami>n mengandaikan pendekatan dan persepsi jihad dari sisi moralitas (akhlak). Prinsip-prinsip moralitas seperti al-h}urriyah (kebebasan), al-musa>wah (persamaan manusia), al-‘adl (keadilan), al-ukhuwwah (persaudaraan), serta yang lain, mestinya menjadi basis dan dasar bagi pemaknaan dan aplikasi jihad kontemporer. Dengan menjadikan jihad sebagai sebuah prinsip dengan orientasi pada dimensi internal jihad (jiha>d al-nafs) dan dimensi sosial jihad, diharapkan kita bisa ikut berkontribusi terhadap terealisasinya Islam yang rah}mah li al-‘a>lami>n, semoga …. !.
Dan akhirnya, wallah al-muwaffiq ila aqwam al-thariq …
Wassalamu’alaykum Wr. Wb.
Mksh …
terima kasih …