Timbangan Buku: Agamaisasi Kekerasan

OPOSISI BINER DALAM NALAR AGAMAISASI KEKERASAN
Oleh: Abid Rohmanu
(Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo)

Judul Buku : Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan. Pengarang : Aksin Wijaya. Penerbit : Mizan Pustaka. Cetakan : I Juni 2018. Tebal halaman : XXX+262

Kekerasan atas nama agama menjadi problem laten dalam sejarah kemanusiaan. Agama yang hadir untuk mewujudkan kedamaian menjadi justifikasi konflik dan peperangan. Serentetan kasus bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu yang lalu, kekerasan wacana antar agama dan kelompok keagamaan di media sosial dalam bentuk hoax dan ujaran kebencian adalah bukti konkrit terjadinya pergeseran peran agama. Agama menjadi titik sumbu pertikaian. Rudolf Peters menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama telah mengalami perluasan spektrum. Doktrin jihad menjadi justifikasi melakukan kekerasan tidak saja kepada nonmuslim, tetapi juga sesama muslim yang berbeda mazhab dan pandangan teologis. Ini dilakukan dalam bentuk pengafiran dan pemurtadan terhadap “yang lain”.

***
Buku Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan, adalah wujud kegelisahan dan respon terhadap fakta sosial keberagamaan di atas. Buku ini bermaksud menyingkap berbagai argumen mengapa kelompok-kelompok Islam puritan (yang menganut absolutisme berpikir) merasa absah melakukan kekerasan atas nama agama. Sebagaimana kelompok-kelompok puritan dalam melakukan gerakan tidak lepas dari tokoh inspirator, argumen justifikatif kekerasan disingkap dari nalar keislaman sang tokoh. Ada beberapa tokoh yang diungkap nalar keislamannya dalam buku ini, yakni Muhammad bin Abdul Wahab sebagai inspirator gerakan Islam Khawariji-salafi dan Khawariji-Wahabi, al-Maududi dan Sayyid Qutb sebagai inspirator gerakan islamisme.

Aksin menyebut kelompok pertama sebagai Khawariji-Salafi dan Khawariji-Wahabi karena menurutnya telah terjadi perkawinan antara paham Khawarij yang kaku dan intoleran dengan paham salafisme dan wahabisme yang literalis-takfiris. Sementara itu, paham salafisme sendiri yang pada awalnya berorientasi modernis-liberal telah berhasil dibelokkan oleh Abdul Wahab untuk menkampanyekan wahabisme. Salafisme yang dimunculkan oleh para reformis (Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha untuk menyebut sebagian) dengan doktrin “kembali ke al-salaf al-shalih” dijadikan sebagai topeng untuk menarik simpati masyarakat. Khaled Abou El Fadl menyebut perkawinan antara salafisme dan wahabisme sebagai “salafabisme”. Ia bukan sebagai mazhab pemikiran, tetapi orientasi teologis yang intoleran. Sementara itu kelompok kedua islamisme, selain bernalar literalisme-takfirisme, mempunyai ciri politis, yakni penciptaan tatanan politik yang diyakini beremanasi dari Tuhan. Islam menurut kelompok ini mengatur semua aspek kehidupan dan politik menjadi garda depan gerakan.

Menurut Aksin, yang dominan dari nalar keislaman kelompok-kelompok puritan di atas adalah penciptaan kategori “oposisi biner” (binary opposition): halal-haram, akal-wahyu, manusia-Tuhan, benar-salah, hitam-putih, dan yang semisal. Aksin menyebutnya sebagai metode berpikir dialektis-dikotomis. Dengan model berpikir ini mereka menciptakan polarisasi antara “kita” dengan “yang lain” (yang berbeda mazhab, aliran, dan agama). Kaum puritan juga menciptakan polarisasi antara doktrin al-hakimiyyah al-ilahiyyah (kedaulatan Tuhan) dan al-hakimiyyah al-basyariyah (kedaulatan manusia). Dengan dikotomisasi ini kaum puritan melawan segala bentuk kreasi kemanusiaan semisal demokrasi, sekularisme, dan nasionalisme. Perlawanan ini diyakini sebagai bagian dari jihad fi sabilillah melawan thagut.

Selain menampilkan secara analitis dan mengkritik nalar agamaisasi kekerasan, buku Aksin juga mengelaborasi wajah Islam pluralis: Islam subtantif Sa’id al-Asymawi, Islam universal Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, dan Islam imani Muhammad Syahrur. Inilah titik pijak yang diinginkan Aksin untuk melakukan transformasi paradigmatis nalar keberagamaan, yakni dari paradigma teosentris ke antroposentris, dari membela Tuhan ke membela manusia, dari agamaisasi kekerasan ke agamaisasi kedamaian, dan dari al-hakimiyyah al-ilahiyyah ke al-hakimiyyah al-basyariyyah. Tidak berhenti di sini, Aksin pada penghujung bukunya mencoba menerapkan tesisnya tentang transformasi paradigmatis nalar keberagamaan dalam bingkai kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

***
Berdasar cuplikan buku Aksin di atas, buku yang bersifat akademis ini penting untuk dibaca oleh khalayak. Buku ini menjadi counter narasi wacana keagamaan kaum puritan yang semakin hegemonik di ruang-ruang publik. Ia bisa menjadi oasis di tengah keringnya literasi keberagamaan masyarakat. Masyarakat , karena pengaruh kaum puritan, cenderung tidak menarik garis demarkasi antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara agama dan nalar keagamaan. Nalar keagamaan disucikan dan diideologisasikan sehingga memicu terjadinya klaim kebenaran dan kekerasan atas nama agama.

Sebagai catatan penutup, tentu kita tidak sekedar reaktif terhadap nalar dialektis-dikotomis kaum puritan. Kritik terhadap nalar oposisi biner diupayakan tidak membawa kita pada model penalaran yang serupa. Persoalannya tidak semudah kita melakukan transformasi dari teosentrisme ke antroposentrisme. Titik temu (kalimat al-sawa’) bukan dalam makna memilih kutub-kutub ekstrim. Maka, paradigma teoantroposentrisme (berpusat pada Tuhan dan manusia) diharapkan lebih akomodatif terhadap kompleksitas agama dan kehidupan keagamaan yang berporos pada ruang privat dan publik. Ini selaras dengan kritik Levi-Strauss terhadap nalar oposisi biner yang cenderung afirmatif terhadap dominasi. Menurutnya, alam dan realitas tidak bisa dibagi dalam kategori mutlak yang berlawanan, tetapi merupakan kontinua analogis. Ada proses kontinual antara halal dan haram, antara akal dan wahyu, antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia. Inilah kategori anomalus yang multimakna dan secara teoritik kuat karena mengawinkan karakteristik dari dua kutub oposisi biner. ‘Ala kulli hal, selamat membaca buku yang menantang ini! (Telah dimuat pada Sindo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: