Puasa itu untuk Manusia dan Kemanusiaan
Puasa itu untuk Manusia
Oleh: Abid Rohmanu*
Izz al-Din b. Abd al-Salam (w. 660 H/1262 M) menyatakan dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam: “Setiap taklif atau tugas yang dibebankan kembali kepada kemaslahatan manusia itu sendiri. Tuhan tidak membutuhkan apapun dan siapapun. Ketaatan manusia kepada Tuhan tidak membuat-Nya memperoleh manfaat apapun, sebaliknya kedurhakaan manusia tidak merugikan-Nya sedikit pun”. Pernyataan Abd al-Salam menegaskan bahwa agama adalah untuk manusia dan kemanusiaan.
Sebagai turunannya, puasa adalah untuk manusia. Tuhan tidak memperoleh manfaat ataupun kerugian jika hamba-Nya melakukan atau tidak melakukan puasa. Manfaat puasa sepenuhnya kembali kepada manusia atau pun sebaliknya. Hal ini mengingatkan bagaimana tradisi banyak mengungkap manfaat puasa bagi manusia. Manfaat ini tidak saja pada aspek kesehatan rohani tetapi juga kesehatan jasmani. Hadis Nabi SAW menyatakan: “Berpuasalah maka niscaya kamu akan sehat”.
Abd al-Salam dalam kitabnya Maqashid al-shiyam (Tujuan-Tujuan Puasa) menyitir hadis di atas sembari menegaskan bahwa di antara manfaat puasa adalah jernihnya pikiran dan sehatnya tubuh. Ilmu Pengetahuan lewat berbagai riset telah membuktikan secara empirik berbagai manfaat puasa.
Profesor Yoshinori Ohsumi, peraih nobel dari institute of Technology Tokyo, menyatakan bahwa puasa berkorelasi dengan mekanisme autophagy dalam tubuh. Autophagy adalah kemampuan sel untuk memakan/menghancurkan komponen tertentu dalam sel yang mengalami kerusakan. Mekanisme autophagy ini memberikan kesempatan tubuh melakukan daur ulang dan revitalisasi komponen sel dalam tubuh. Mekanisme ini terbukti memberikan manfaat kesehatan yang luar biasa (Republika, 20/6/2017).
Poin utamanya adalah pentingnya memberikan apresiasi lebih pada persoalan/kepentingan manusia dan kemanusiaan dalam membincang kewajiban agama. Kewajiban agama/taklif dilihat pertama kali pada kemaslahatan/ kebaikan manusia di dunia (kedisinian). Hal ini mendorong pada investigasi hikmah di balik taklif dan mendorong dialog antara agama dan ilmu pengetahuan. Semuanya ini tak berarti kemaslahatan akhirat tidak penting, tetapi menyitir kembali Abd al-Salam, kemaslahatan yang bersifat ukhrawi harus dilihat sebagai turunan/implikasi logis dari kemaslahatan dan kebaikan di dunia. Bukankah akhirat dikejar dengan perantara dunia. Wallah A’lam! (*Penulis adalah Wakil Dekan I Fakultas Syariah IAIN Ponorogo).
Sebagian tulisan telah dimuat dalam Radar Ponorogo, 7 Mei 2021.
Ilustrasi: https://www.qoala.app/id/blog/gaya-hidup/momen/manfaat-puasa-bagi-kesehatan/