Partikularitas dan Universalitas: Language Game Studi Fikih

BOOK REVIEW

Judul Buku          : al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shar>i’ah al-Isla>miyyah

Pengarang           : Khalil Abdul Karim

Penerbit                : Si>na> li al-Nashr  Kairo dan Mu`assasah al-Intisha>r al-‘Arabi Beirut

Judul Terjemah : Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan

Penerjemah         : Kamran As’ad

Penerbit                : LKiS Yogyakarta, 2003

Tebal Halaman  : xvi + 159

PARTIKULARITAS DAN UNIVERSALITAS; LANGUAGE GAME STUDI FIQH

Abid Rohmanu*

Iftita>h}

Wacana kritis yang mengangkat narasi oposisi biner antara pusat (center) versus pinggiran (periphery) dan universal versus lokal dalam kajian fiqh menjadi tren konsen para pemikir kontemporer, termasuk sosok Khalil Abdul Karim. Klaim bahwa Islam merupakan agama yang bersifat universal sering kali berhadapan secara pelik dengan fakta bahwa agama ini diturunkan di wilayah Arab. Eksistensi agama tidak terlepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Karena itulah proses formasi fiqh pada era awal merupakan buah dari dialektika Islam dengan tradisi dan budaya masyarakat Arab pra-Islam sesuai dengan tuntutan sosial budaya kala itu.

Persoalannya kemudian adalah bahwa dialektika fiqh dengan tradisi Arab tersebut dibakukan dalam paket-paket doktrin fiqh, khususnya mulai era tadwi>n. Tradisi fiqh yang sejatinya berbahan-bakukan budaya Arab yang menkristal dalam  rumusan-rumusan legal formal dianggap sebagai manifestasi otentisitas tradisi, dan karenanya budaya-budaya lokal (non-Arab) yang mencoba melakukan persenyawaan dengan universalitas Islam dianggap sebagai bid’ah.

Dalam kerangka permasalahan di atas, Khalil Abdul karim mencoba untuk ‘urun rembuk’ dalam bukunya, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Makna. Buku ini seakan menggambarkan bahwa kajian fiqh pada dasarnya adalah perebutan makna otentisitas oleh kelompok universalis dan partikularis. Karim dalam hal ini berada dalam posisi yang terakhir, bahwa fiqh pada dasarnya bersifat partikular karena merupakan respon Islam terhadap tradisi yang bersifat lokal. Kajiannya yang tajam dengan bidikan pertautan antara Islam dan budaya Arab – sebagaimana dua bukunya yang lain[1] – sering kali membawanya pada tuduhan sebagai pemikir “kiri” yang anti Arab.[2]

Kandungan Buku

Pernyataan yang sering dinisbahkan pada ‘Umar al-Fa>ru>q menurut Karim adalah “Arab merupakan bahan baku Islam”. Itu artinya tradisi, norma dan budaya Arab pra-Islam banyak mewarnai  yurisprudensi Islam. Islam hadir tidak dalam ruang yang hampa budaya, akan tetapi kehadirannya justru hendak melakukan dialog dan apresiasi terhadap budaya yang ada.

Apa yang dilakukan oleh Karim merupakan upaya untuk membongkar warisan dan peninggalan-peninggalan yang bercorak Arabisme dalam tradisi fiqh – sebutan yang menurut penulis lebih tepat dari pada istilah yang dipakai Karim, ‘syari’ah’. Tujuannya adalah untuk memahami Islam (baca: tradisi fiqh) secara benar dan memilah mana unsur Islam yang bersifat absolut dan mana yang bersifat profan sebagai hasil konstruksi budaya. Dalam buku ini, Karim melakukan inventarisasi tradisi-tradisi pra-Islam yang diadopsi oleh Islam pada awal kehadirannya di wilayah Arab. Hasil inventarisasinya ditelorkan dalam lima pembahasan bukunya. Bahasan tersebut selengkapnya sebagai berikut:

A.    Ritus-ritus Peribadatan:

1.      Warisan Suku Arab:

a.      Pengagungan Bayt al-H}ara>m dan Tanah Suci

b.      Haji dan Umrah

c.       Sakralisasi Bulan Ramadlan

d.      Pengagungan Bulan-Bulan Haram

e.       Penghormatan atas Ibrahim dan Isa a.s.

f.        Pertemuan umum hari Jum’at

2.      Warisan Tradisi H}anafiyyah:

a.      Penolakan penyembahan berhala

b.      Pengharaman sesembelihan yang dikorbankan untuk berhala

c.       Pengharaman riba

d.      Pengharaman zina dan hukumannya

e.       Potong tangan bagi pelaku pencuri

f.        Puasa

g.      Khitan

h.      Dan yang lainnya

B.      Ritus-Ritus Sosial

1.      Jampi-jampi dan mantera

2.      Pemeliharaan onta dan binatang ternak

3.      Poligami

4.      Pembedaan Arab dan Non-Arab

5.      Pembedaan Arab urban dan Badawi

6.      Pandangan terhadap pertanian

7.      Asal-usul pungutan sepersepuluh

8. Al-Istija>rah dan al-Jiwa>r[3]

9.      Kehormatan nasab

10.  Perbudakan

C.     Ritus-Ritus Hukuman

1. Al-‘A><qilah[4]

2. Al-Qasa>mah[5]

D.    Ritus-Ritus Peperangan

1.      Seperlima bagian rampasan perang

2. Al-Salb[6]

3. Al-S}afiy[7]

E.      Ritus-Ritus Politik

1.      Khilafah

2.      Shura

Membaca buku Karim, nyaris tidak tersisa sesuatu yang otentik dan murni dari Islam. Dalam ritus-ritus peribadatan misalnya, kekayaan tradisi Arab pra-Islam dan tradisi H}anafiyyah mendominasi warna Islam. Kenyataan ini tentu tidak dengan mudah membawa pada kesimpulan bahwa Islam tidak otentik, sebagaimana implisit dinyatakan dalam buku Karim. Karena otentisitas seharusnya tidak diukur apakah Islam memunculkan ritus baru atau tidak, akan tetapi seberapa jauh  Islam sebagai risalah terakhir konsen terhadap penanaman nilai kemanusiaan universal terhadap tradisi dan budaya lokal, walaupun dalam prakteknya hal ini dilakukan step by step sesuai situasi dan kondisi kala itu

Selain itu, dilihat dari sistematika bahasan buku Karim, kurang adanya keseimbangan antara satu bagian dengan yang lain. Bahasan tentang ritus peribadatan dan sosial mendominasi kajian dibandingkan dengan bahasan ritus hukuman, peperangan dan politik. Kemudian dalam bahasan ritus sosial, menurut penulis ada beberapa sub bahasan yang kurang signifikan – walau masih bisa dianggap relevan – bila dikaitkan dengan tema ‘akar sejarah syari’ah’. Yakni, ketika Karim mengangkat sub bahasan; jampi-jampi dan mantera, pemeliharaan unta (binatang ternak) dan pandangan terhadap pertanian dan petani. Dalam sub-sub bahasan ini ternyata paparan Karim juga relatif singkat, untuk tidak mengatakan tidak mendalam dan terkesan dipaksakan. Sebagai misal dalam sub bahasan ‘jampi-jampi dan mantera’, Karim mengungkapkan bahwa jampi dan mantera dalam rangka mengobati sakit sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Kemudian setelah Islam hadir, tradisi ini masih dilakukan oleh sahabat dengan memakai bacaan-bacaan al-Qur’an dan Nabi s.a.w. menjustifikasinya.[8]

Akan tetapi hal tersebut di atas tidak mengurangi keistimewaan buku ini, buku yang mengusung kritisisme terhadap warisan tradisi dan memberikan data-data kesejarahan yang cukup berharga bagi para peneliti keislaman. Sebagaimana Karim juga menegaskan bahwa apa yang dilakukan bisa dikatakan masih rintisan yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian serupa yang lebih serius. Untuk lebih memahami semangat dan spirit karya Karim, di bawah ini akan dipaparkan sebagian dari subtansi karya Karim terkait dengan tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang diadopsi secara temporer oleh Islam.

Ritus-Ritus Sosial dan Status Wanita Masyarakat Arab Pra-Islam

Dalam bab ritus-ritus sosial, di antara yang disorot secara tajam oleh Karim adalah tentang sistem kekerabatan masyarakat Arab pra-Islam dan pranata-pranata yang menyokong sistem tersebut, yaitu sistem perkawinan dan perbudakan masyarakat Arab pra-Islam. Sistem kekerabatan masyarakat Arab klasik, sebagaimana dipaparkan Karim, adalah patrilineal. Sistem kekerabatan ini mengandaikan dua makna: pertama, jalur bapak merupakan poros tali kekerabatan dan kedua, anak dalam hal ini mengikuti garis keturunan bapak dan keluarga bapaknya.[9] Sedang ibu dan kerabat lainnya dianggap sebagai  tamu atau orang asing bagi sistem ini. Tradisi paternalistik ini menurut Karim dipertegas oleh al-Qur’an: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah”.[10] Jadi menurut penelusuran Karim, masyarakat Arab Klasik begitu mengagungkan persoalan nasab[11] serta keturunan, dan garis nasab yang diagungkan adalah pihak laki-laki.

Menurut Karim, salah satu identitas laki-laki yang terhormat adalah bernasab, atau dengan kata lain memiliki  nasab yang dikenal dan terjaga. Nasab berkaitan dengan jaminan proteksi dari sukunya dan karenanya mereka yang tidak jelas genealoginya tidak diperhitungkan. Nasab bagi masyarakat Arab klasik laksana identitas kewarganegaraan dalam masyarakat modern sebagai modal memperoleh tiket kemudahan-kemudahan dalam berbagai persoalan sosial.[12] Kemudian, tegas Karim, kehadiran Islam ikut mempertegas urgensitas nasab ini. Di antara buktinya menurutnya  adalah aturan qadhaf dalam fiqh. Dalam aturan ini, penafian nasab dengan menuduh orang lain telah berzina dianggap telah melakukan kesalahan berat yang mengakibatkan penuduh mendapat hukuman had, atau mungkin juga si tertuduh, bila ada bukti-bukti yang diterima.[13]

Karenanya, faktor nasab dengan balutan kekerabatan patrilineal merupakan bagian dari struktur sosial yang mempunyai nilai penting bagi masyarakat Arab, selain struktur sosial yang didasarkan pada kesamaan wilyah/teritori. Sistem kekerabatan yang bersifat paternalistik ini menjadi dasar hubungan antar individu dalam masyarakat dan kriterium penentuan hak dan kewajiban. Dalam sistem kekerabatan paternalistik, sistem keluarga yang dikenal adalah keluarga luas (extended patriarchal family) yang terdiri dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat lain yang terbentuk secara bersama sebagai sebuah unit sosial. Unit-unit sosial yang bersifat nasabiyyah/genealogis dalam masyarakat Arab terpilah menjadi : al-sha’b (bangsa), al-qabi>lah (suku), al-‘ima>rah (sub suku), al-bat}n (klan/marga), al-fakhdz (moiety) dan al-fas}i>lah (faksi).[14] Mereka sangat memperhatikan faktor genealogis ini sebagai dasar interaksi dan kerja sama di antara mereka. Di antara unit-unit sosial tersebut al-qabi>lah (suku) adalah kesatuan masyarakat utama tempat munculnya tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang berkembang dalam masyarakat, dan bukan keluarga.[15]

Sistem kekerabatan inilah yang menjadi penentu dan faktor independen terhadap corak ritus-ritus sosial, khususnya yang berkaitan dengan status wanita dalam masyarakat Arab. Akan tetapi Karim tidak menyatakan secara eksplisit relasi yang bersifat kausal ini. Sub bahasan tentang “penghormatan nasab” misalnya, tidak dipertautkan dengan ritus-ritus sosial yang berkaitan dengan status wanita, semisal ritus poligami dan perbudakan. Ditilik dari kacamata  antropologi, sistem genealogis  atau kekerabatan mempunyai beberapa fungsi; fungsi ekonomi, politik, religious dan fungsi pengaturan perkawinan.[16]

Dalam kajian antropologi fungsi sistem kekerabatan par excellence adalah dalam hal pengaturan perkawinan.[17] Pengaturan perkawinan oleh sistem kekerabatan lebih banyak berorientasi pada hubungan gender, yakni konstruksi sosial berkaitan dengan status dan posisi seseorang (suami/istri) dalam sistem sosial tertentu. Karena lekatnya bentuk perkawinan dengan sistem kekerabatan, perkawinan dalam masyarakat sering kali dikatakan sebagai salah satu variabel yang menentukan status seseorang dalam masyarakat.[18]

Di antara ritus sosial berkaitan dengan pengaturan perkawinan masyarakat Arab adalah poligami. Menurut Karim, masyarakat Arab kuno membolehkan praktek poligami tanpa batasan maksimum. Model keluarga  masyarakat Arab kala itu menurutnya adalah laki-laki sebagai poros, sejumlah istri merdeka dan ditambah dengan budak-budak sariyyah yang boleh disetubuhi secara bebas tanpa ikatan perkawinan. Poligami dalam masyarakat Arab merupakan kontruksi sosial yang memposisikan status suami dan istri secara timpang di tengah  iklim sosial yang paternalistik. Dalam masyarakat ini, kosakata popular untuk sebutan suami adalah ba’al, sebaliknya istri adalah mab’u>l. Kata  ba’al bermakna majikan, pemilik dan penguasa. Pemakaian istilah ini tentu sebagai konsekuensi logis dari model perkawinan dengan cara kepemilikan (tamalluk).[19] Dalam tradisi masyarakat tribal, terdapat pemberian-pemberian yang bernuansa pembelian dari pihak calon suami untuk keluarga calon istri.

Kata ba’al, menurut Karim, mempunyai signifikansi sugestif  berbeda dengan kata mab’u>l (istri) yang berarti yang dikuasai, dimiliki dan dipelihara oleh suami. Karenanya, kosakata ini mempunyai kekuatan untuk mencerabut akar-akar kedirian, kebebasan asasi dan harkat seorang istri. Di sisi yang lain, ia juga menanamkan dalam diri istri bibit-bibit ketundukan, perasaan kepasrahan dan ketaatan menjalankan perintah-perintah yang didefinisikan oleh suami sebagai ba’al terhadap istri. Mab’u>l dalam hal ini sering dijadikan sebagai objek kenikmatan fisik dan manusia kelas dua yang melayani suami.[20]

Selanjutnya Karim menyatakan bahwa ketika Islam datang, agama ini ikut melegitimasi praktek poligami yang berkembang di Arab sebagaimana dikumandangkan dalam al-Qur’an surat al-Nisa` (4): 3. Karim dalam hal ini mengikuti arus yang menganggap bahwa ayat tersebut merupakan ayat pendukung poligami sebagaimana kelompok yang kontra poligami juga menjadikan ayat yang sama sebagai landasan. Lebih jauh Karim menegaskan dengan bersandarkan pendapat ahli tafsir, walau pendapat tersebut kurang popular, bahwa ayat tersebut tidak berarti adanya keterpakuan dengan bilangan empat, akan tetapi kelipatan dua, tiga dan empat. Pembatasan inipun menurutnya juga masih membuka celah untuk mengawini wanita lebih dari batasan maksimal, yakni dengan mekanisme cerai. Dan tentu pembatasan ini tidak masuk di dalamnya jariyyah, sariyyah dan malak al-yami>n. Untuk menguatkan hal ini, Karim dengan merujuk pada data-data kesejarahan menyebut deretan istri-istri para sahabat, termasuk khulafa Rashidun. ‘Umar b. Khattab, misalnya, pernah menikahi sembilan orang istri termasuk di antaranya tiga orang budak; Lahiyyah yang melahirkan seorang anak Abu al-Mujbir, Fakihah melahirkan Zainab dan seorang budak yang tidak diketahui namanya melahirkan seorang anak bernama ‘Abdurrahman Junior.[21] Perilaku para elit sahabat ini menurutnya imbas dari pengaruh kuat tradisi Arab pra-Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada teks akan tetapi juga perilaku para elit sahabat. Padahal, menurut Karim, perilaku mereka mempunyai signifikansi sebagai landasan  hukum bagi generasi selanjutnya.[22]

Perbudakan (slavery) sebagaimana ditegaskan oleh Karim adalah ritus sosial warisan budaya suku Arab Klasik. Dan ketika Islam hadir, praktek ini tidak secara tegas dilarang akan tetapi ada kesan ditoleransi sebagaimana praktek para sahabat, bahkan menurut Karim, Rasul sendiri mempunyai seorang budak laki-laki dan perempuan. Hal tersebut disebabkan karena perbudakan merupakan pranata sosial yang telah mendarah daging dan Islam ‘mau tidak mau’ terpengaruh oleh tradisi tersebut.[23] Dalam konteks kajian status wanita, perbudakan pada masyarakat Arab klasik telah menjadi sarana eksploitasi seksual. Pada era kontemporer pengaruh perbudakan ini masih bisa dirasakan. Menurut Abou El fadl, Lembaga ini secara efektif telah mengarah pada perdagangan ilegal (trafficking) dan eksploitasi seksual terhadap pekerja domestik di Arab Saudi.[24]

Di akhir perbincangan bahasan ini, Karim menyimpulkan bahwa sikap Islam terhadap wanita secara umum pararel dengan sikap masyarakat Arab pra-Islam.[25] Karim kelihatannya menginginkan sikap tegas Islam terhadap  tradisi  Arab pra-Islam, bahkan sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di wilayah Arab.

Orientasi Partikularistik dan Universalistik dalam Studi Fiqh

Orientasi partikularistik dan universalistik dalam studi fiqh adalah permasalahan laten yang sulit untuk dikompromikan. Orientasi partikularistik menghendaki respon Islam yang bersifat spesifik dan tertentu terhadap sistem sosial dan budaya masyarakat yang bersifat kompleks, sementara orientasi universalistik menghendaki penerapan tradisi fiqh klasik secara total dalam setiap situasi kontemporer tanpa memperhitungkan dinamika budaya zaman. Padahal dua orientasi tersebut mestinya bersifat dialektis dengan mempertimbangkan pilahan historisitas dan normativitas tradisi.

Kajian Karim, walau agak terkesan ‘bombastis’, bermaksud melakukan pilahan tersebut dengan menunjukkan partikularitas tradisi yang diadopsi oleh Islam. Dalam hal ini perspektif Karim terhadap pembentukan fiqh ada kemiripan dengan Joseph Schacht. Schacht umpamanya, berpendapat bahwa Muhammad memelihara tradisi pra-Islam lewat konsep sunnahnya. Beberapa aspek dasar ajaran Islam, bahkan aspek-aspek praktisnya yang terlembagakan dalam fiqh berasal dari tradisi Arab pra-Islam. Dalam bahasa lain, fiqh merepresentasikan kontinuitas tradisi Arab pra-Islam.[26] Karim menyatakan: “Tradisi, adat  istiadat, sistem dan ritus-ritus suku-suku Arab prakerasulan Muhammad merupakan blue print atau ladang uji coba bagi Islam dan syari’at Islam”.[27]

Dalam sistem yurisprudensi Islam, tradisi (‘urf) diakui sebagai sumber penting selama tidak kontradiktif terhadap teks dan spirit revelasi. Para Yuris Hanafi dan Maliki misalnya, sangat merasakan signifikansi sosial-politik tradisi. Karena itu mereka mengembangkan doktrin istih}sa>n dan al-mas}a>lih} al-mursalah dalam rangka mengakomodasi eksistensi tradisi Arab pra-Islam selama sesuai dengan prinsip Islam.[28]

Dalam bukunya, Hegemoni Quraisy, Karim menguatkan perspektifnya dengan sosiologi pengetahuannya Karl Manheim. Menurut disiplin ini ide-ide, pendapat, dogma, keyakinan dan nilai-nilai merupakan produk realitas materi (struktur sosial-ekonomi masyarakat).[29] Akan tetapi dalam konteks fiqh, perspektif sosiologi pengetahuan ini tentu tidak bisa diterapkan secara telanjang, karena Islam hadir membawa cita ideal yang hendak ditransformasikan ke dalam masyarakat Arab yang tidak hampa budaya. Fiqh dalam hal ini merupakan hasil dialog Islam dengan tradisi setempat, dan bukan semata-mata produk realitas. Dekontruksi, apresiasi dan adopsi adalah sapaan Islam terhadap tradisi lokal.

Fiqh Islam mengandung unsur universalitas dan partikularitas, prinsip dan penerapan. Pada hakikatnya, hukum fiqh yang lahir dari sebuah partikularitas merupakan penerapan dari satu prinsip yang universal. Menurut al-Ja>biri, ada tiga kunci penting untuk memahami rasionalitas fiqh, yaitu; universalisme syari’at, hukum-hukum partikular dan tujuan-tujuan serta latar belakang penetapan hukum (asba>b al-nuzu>l).[30] Berkaitan dengan rasionalitas fiqh poligami misalnya, universalisme syari’ah menghendaki kesamaan status laki-laki dan perempuan. Hal ini didasarkan pada penelitian yang bersifat induktif terhadap teks-teks keagamaan.[31] Poligami dalam al-Qur’an merupakan hukum yang bersifat partikular sebagai respon terhadap tradisi poligami yang begitu mewabah dalam masyarakat Arab pra-Islam. Islam tidak eksplisit melarangnya, akan tetapi membatasi jumlahnya dan menerapkan persyaratan yang sulit dicapai, yakni keadilan. Kemudian teks juga menandaskan bahwa jikalau seseorang takut tidak bisa berbuat adil, hendaknya monogami saja. Selanjutnya, dinyatakan bahwa seseorang yang berpoligami dipastikan tidak akan sanggup berbuat adil.[32] Karena itu maka hukum-hukum yang bersifat partikular hendaknya selalu didialogkan dan dikembalikan pada universalisme syari’ah tatkala tuntutan kemaslahatan dan situasi sosial budaya berubah.

Dalam wacana antropologi, dialektika tradisi dan agama bisa dijelaskan dengan teori enkulturasi, teori yang mengupas interaksi antara budaya dan agama. Enkulturasi adalah proses penanaman nilai-nilai baru ke dalam suatu masyarakat yang sudah memiliki adat istiadat. Nilai-nilai tersebut ditransformasikan dengan menggunakan adat istiadat sebagai medianya.[33] Secara umum sikap Islam terhadap tradisi Arab-Jahiliyyah bisa bersifat destruktif, akomodatif atau apresiatif sesuai dengan parameter nilai universalitas syari’ah. [34] Parameter yang menjadi dasar enkulturasi budaya ini meliputi; social equity (kesetaraan sosial) dan humanisasi tradisi. Tradisi perbudakan dan poligami masyarakat Arab pra-Islam berseberangan dengan nilai universalisme syari’ah dan karenanya menjadi target enkulturasi, tentu dengan proses yang bersifat tadarruj. Menurut Kroeber, unsur kebudayaan asli tidak mudah diganti. Menurutnya, kompleksitas unsur-unsur asing seluruhnya dapat diterima hanya bila unsur-unsur tersebut dapat disesuaikan dengan bentuk tingkah laku yang lama dan cocok dengan sikap-sikap emosional yang sudah ada.[35]

Dinamika dialektika antara budaya Arab yang partikular dengan universalisme syari’ah seperti uraian di atas tidak dikupas oleh Karim dalam bukunya. Apa yang dilakukan adalah inventarisasi ad hoc tradisi-tradisi Arab pra-Islam tanpa menjelaskan rasionalitasnya, bahkan terkesan  Islam tanpa reserve mengadopsi tradisi-tradisi tersebut. Tetapi harus diakui, bahwa karyanya kaya materi kesejarahan berkaitan dengan tradisi dan praktek hukum masyarakat Arab pra-Islam, sebuah kajian yang masih jarang dilakukan. Sebagaimana ia berharap, kajiannya akan menjadi pemantik penelitian-penelitian serupa.

Kajian Karim yang ‘provokatif’ ini pada dasarnya diarahkan pada kaum apolog (du’at). Menurutnya, mereka sering kali berteriak bahwa Islam menyapu bersih sistem tradisi dan keyakinan masyarakat Arab pra-Islam. Masyarakat Arab pra-Islam mereka citrakan secara total sebagai bodoh, kelam, barbar dan tidak berperadaban. Padahal masyarakat Arab kala itu adalah masyarakat urban yang sudah berperadaban dan sebagian telah mewarisi tradisi al-h}anafiyyah.[36] Maka, signifikansi kajian Karim adalah kritik terhadap perspektif yang a-historis dan keterpisahan agama dan budaya. Padahal, agama dengan nilai-nilai universalnya tidak pernah akan membumi tanpa dibalut oleh tradisi dan kearifan local.

Karenanya, buku Khalil Abdul Karim, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, kiranya pantas menambah Khazanah pustaka peminat kajian fiqh, terlepas dari beberapa kelemahan buku ini. Wacana pergumulan fiqh dan budaya akan selalu up to date seiring dengan menguatnya tensi kelompok moderat dan puritan.

Di antara kelemahan buku edisi terjemahan ini adalah tiadanya selintas background kehidupan sosial dan intelektual pengarangnya. Karenanya, pembaca tidak bisa mengukur tingkat otoritas Karim ketika mengkaji persoalan ini dan juga tidak bisa menilai adanya indikasi bias atau tidak.[37]

Selain itu, di akhir bukunya, Karim semestinya menuliskan daftar rujukan/bibliography, walaupun ia sudah menyertakan catatan kaki, sehingga pembaca lebih mudah menilai secara kumulatif sumber rujukan, apakah ia bersifat primer atau sekunder. Selintas Karim mendasarkan argumentasinya pada data-data kesejarahan yang primer, di antaranya syair-syair Arab pra-Islam.

Daftar isi yang sudah terklasifikasikan dan adanya indeks dalam edisi terjemahannya akan lebih mudah pembaca untuk menyisir data dan informasi yang dinginkan. Dan kualitas terjemahan buku ini sedikit banyak bisa merasakan rasa kebahasaan pengarangnya, karenanya pesan yang disampaikan lebih mudah dicerna.

Ikhtita>m

Sebagai penutup dapat ditegaskan bahwa buku Khalil Abdul Karim sebagaimana judulnya, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, adalah tergolong buku sejarah yang memfokuskan diri pada tela`ah akar sejarah tradisi fiqh. Sementara itu dilihat dari materi kesejarahan yang diangkat, buku Karim juga bisa dikatakan sebagai bercorak antropologi sosial. Anthropologi didefinisikan sebagai studi terhadap semua aspek kehidupan dan budaya manusia. Pilahan-pilahan studi ini di antaranya adalah antropologi sosial yang di antara konsennya adalah sistem sosial, sistem religi dan sistem pengetahuan.[38]

Kajian-kajian terhadap tradisi fiqh dengan pendekatan historis-antropologis bagaimanapun masih merupakan ladang subur yang menunggu uluran para sarjana Islam. Dengan kajian model ini, diharapkan fiqh dapat dilihat secara holistic sebagai perpaduan dan harmoni antara ideal moral Islam dengan praktek budaya lokal di mana Islam hadir. Dengan kajian yang yang bersifat antropologis ini dapat dilihat bahwa fiqh tidak semata merupakan model dari realitas dengan mengadopsi tradisi yang ada, akan tetapi fiqh juga memberikan ruh dan konsep terhadap realitas.

Dan karena realitas kemanusiaan tidak mengenal kata henti, maka dialektika antara budaya dan Islam akan selalu mewarnai sejarah perjalanan fiqh. Memutuskan bahwa fiqh adalah sebagaimana produk era tadwi>n dan fiqh harus bercorak kearaban pada dasarnya telah membonsai perkembangan fiqh, disiplin keilmuan yang sejatinya tidak tersekat dalam selubung masa, wilayah dan budaya tertentu. Wallah A’lam!

BIBLIOGRAPHY

El Fadl, Khaled Abou. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Penterj. Helmi Mustafa Jakarta: Serambi, 2006.

Faruqi, Muhammad Y. “Consideration of ‘Urf in the Judgments of the Khulafa` al-Rashidun and the Early Fuqaha`”. The American Journal of Islamic Social Sciences. Vol. 9 (Winter, 1992).

Ihromi, T. O. (ed.). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Al-Jabiri, Muhammad Abed. Syura; Tradisi, Partikularitas, Universalitas. Penterj. Mujiburrahman. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Karim, Khalil Abdul. Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan. Penterj. M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LKiS, 2002.

___________________ , al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyyah. Kairo: Si>na> li al-Nashr dan Beirut: Mu`assasah al-Intisha>r al-‘Arabi, 1997.

___________________ , Negara Madinah; Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab. Penterj. Kamran As’ad Irsyady. Yogyakarta: LKiS, 2005.

___________________ , Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan. Penterj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press, 1987.

Minhaji, Akhmad. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht. Penterj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001.

Syam, Nur. Mazhab-Mazhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Sodiqin, Ali. Antropologi al-Qur’an. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

WA, Redmont. “Patrilineage.” MicrosoftÒEncartaÒ2006[DVD] Microsoft Corporation, 2005.

Zeitlin, Irving M. Ideology and Development of Sociological Theory. London: Prentice-Hall, 1981.


* Tenaga Pengajar Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo.

[1] Dua bukunya yang lain juga juga diterjemahkan dan diterbitkan oleh LKiS, penerbit yang selama ini banyak menggeluti wacana-wacana keislaman kritis. Dalam buku terjemahannya yang bertitel Hegemoni Quraysh, Karim melakukan pelacakan realitas kesejarahan Suku Quraysh dan Jazirah Arab dalam rangka memahami Islam secara obyektif. Dalam bukunya  yang kaya informasi kesejarahan ini, Karim menampilkan premis-premis keagamaan, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan yang menjadi background munculnya Islam sebagai sebuah agama dan kekuatan budaya. Dari kajiannya tersebut dapat ditarik benang merah bahwasanya kehadiran Islam bukan semata persoalan kebenaran agama, akan tetapi di belakangnya tersimpan pergulatan, pertarungan, kepentingan kekuasaan dan politik yang keras yang sering kali luput dari sentuhan kajian keislaman. Sementara itu dalam bukunya, Negara Madinah; Politik penaklukan Masyarakat Suku Arab, Karim memaparkan sejarah kenabian dengan titik focus pada tahun delegasi dan konsekuensinya. Berdasar kajiannya, banyaknya delegasi yang datang dan menunjukkan ketundukannya pada Muhammad s.a.w. tidak didasarkan pada motif keagamaan, akan tetapi lebih karena  alasan politis, yakni silau terhadap Negara super power baru (Negara Quraysh Madinah). Sebagai konsekuensinya, antara lain, ekspansi Negara baru ini lebih banyak dimotori oleh motif ghani>mah yang dipermaks dengan slogan keagamaan. Kajian Karim sama sekali tidak bermaksud merendahkan Muhammad atau Islam, bahkan sebaliknya. Realitas kesejarahan sering kali tidak pararel dengan keagungan cita Muhammad dan misi Islam. Karenanya bersikap kritis terhadapnya merupakan tuntutan. Lihat, Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan, Penterj. M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: LKiS, 2002) dan Ibid., Negara Madinah; Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, Penterj. Kamran As’ad Irsyady (Yogyakarta: LKiS, 2005).

[2] Itu sebagaimana diungkap Karim  dalam pengantar edisi II buku aslinya, bahwa pada awalnya tiga percetakan di Mesir dan Beirut menolak untuk menerbitkan karyanya tersebut tanpa alasan yang jelas. Analisa Karim adalah karena faktor subtansi kitab yang dinilai subversif. Lihat, Khalil ‘Abdul Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Si>na> li al-Nashr dan Beirut: Mu`assasah al-Intisha>r al-‘Arabi, 1997), 1-2. Intelektual Mesir ini tulisan-tulisannya memang sering dilirik curiga oleh kelompok intelektual al-Azhar.

[3] Yakni tradisi pengawalan pribadi. Al-istija>rah jika posisi yang dikawal adalah lemah dan al-jiwa>r jika yang dikawal adalah kuat akan tetapi banyak musuh.Lihat, Khalil Abdul Karim, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Penterj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LkiS, 2003), 71.

[4] Diyat yang ditanggung oleh suku dari si pembunuh berkaitan dengan pembunuhan yang tidak disengaja atau semi sengaja. Ibid., 93.

[5] Yaitu sumpah yang diikrarkan oleh lima puluh orang yang berada dalam situasi sosial pembunuhan yang tidak diketahui secara jelas siapa pembunuhnya. Sementara keluarga terbunuh menuntut pertanggungjawaban dari kelompok tersebut. Ibid., 99.

[6] Yaitu sesuatu yang diambil oleh suatu pasukan dari orang yang dikalahkan atau dibunuhnya, berupa semua yang dibawa; baju besi, senjata dan kuda. Ibid., 107

[7] Adalah rampasan perang yang diambil dan dipilih oleh panglima perang sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain. Ibid., 109.

[8] Ibid., 21.

[9] Karim mengutip hadis dari kitab Imam Ahmad, al-Musnad, bahwa Nabi diceritakan telah bersabda: “Anak laki-laki adalah kepunyaan pemilik ranjang dan pezina (laki-laki)”. Anak laki-laki dinasabkan pada bapaknya, meskipun ia hasil hubungan tidak sah yang diharamkan oleh syari’at Islam. Hal ini karena jika seseorang kehilangan nasabnya, maka ia dinilai hancur kepribadian dan martabatnya di masyarakat. Ibid., 81.

[10] Al-Ahzab (33): 5. Lebih jauh tentang argumentasi tradisi paternalistic masyarakat Arab kuno, lihat Ibid., 77.

[11] Bukti dari hal tersebut menurut Karim adalah bahwa profesi geneolog sangat dihormati masyarakat Arab. Dan tidak ada satu suku, sub suku atau klan  kecuali mereka mempunyai geneolog.  Sesuai dengan tradisi hafalan yang kuat dalam masyarakat Arab, seorang geneolog mampu menyebut rentetan silsilah keturunan tiap anggota sukunya. Sementara itu, anggota masyarakat yang tidak jelas garis keturunannya dianggap hina yang dalam bahasa mereka disebut al-da’iyu.Ibid., 79.

[12] Ibid., 80

[13] Lihat persoalan qadhaf dalam  ibid., 82 – 86.

[14] Ibid., 78.

[15] Karim, Hegemoni Quraisy, 234.

[16] “Patrilineage.” MicrosoftÒEncartaÒ2006[DVD] Redmont, WA, Microsoft Corporation, 2005.

[17] T. O. Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), 94.

[18] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1987), 213.

[19] Karim, Syari’ah, 34.

[20] Ibid., 35.

[21] Lihat, Ibid., 36 – 40.

[22] Ibid., 41.

[23] Ibid., 90.

[24] Menurut Khalid Abou EL Fadl, Syaykh Salih al-Fawzan sebagai representasi kelompok puritan mengeluarkan fatwa bahwa perbudakan adalah legal dalam Islam dan seyogyanya perbudakan tersebut diberlakukan di Arab Saudi. Tentu ini sebuah opini hukum yang a-historis. Lihat, Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Penterj. Helmi Mustafa (Jakarta: Serambi, 2006), 306.

[25] Karim, Syari’ah, 46.

[26] Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, Penterj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), 19.

[27] Karim, Syari’ah,150.

[28] Muhammad Y. Faruqi, “Consideration of ‘Urf in the Judgments of the Khulafa` al-Rashidun and the Early Fuqaha`”, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 9 (Winter, 1992), 489.

[29] Karim, Hegemoni Quraisy, 272. Untuk kajian yang lebih mendalam tentang sosiologi pengetahuan, bisa dilihat misalnya, Irving M. Zeitlin, Ideology and Development of Sociological Theory (London: Prentice-Hall, 1981), 230.

[30] Muhammad Abed Al-Jabiri, Syura; Tradisi, Partikularitas, Universalitas, Penterj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), 126.

[31] Lihat antara lain misalnya surat al-Hujurat: 13, Ali ‘Imran: 195, al-Shura: 48, al-Tawbah: 71. Selain itu banyak ayat al-Qur’an yang memberikan beban kewajiban agama yang sama antara laki-laki dan perempuan. Begitu halnya dengan teks hadis yang banyak memaparkan kemuliaan sosok wanita/ibu.

[32] Lihat teks lengkapnya dalam al-Nisa`: 3 dan 129.

[33] Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 135.

[34] Destruktif (tahri>m) adalah menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat karena tidak sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an. Contoh dalam hal ini adalah berjudi dan minum khamr, praktek riba dan perbudakan. Sikap akomodatif fiqh berarti menerima dan membiarkan berlakunya sebuah tradisi kemudian menyempurnakan aturan-aturannya, sebagaimana sikap fiqh terhadap tradisi perdagangan yang sudah popular sejak pra-Islam. sementara sikap apresiatif fiqh adalah sikap menerima tradisi Arab, akan tetapi merekonstruksinya sehingga karakter dasar tradisi tersebut bisa berubah. Dialektika fiqh model terakhir inilah yang berlaku terhadap lembaga perkawinan adat pra-Islam, termasuk dalam hal pengadopsian anak, waris, pakaian dan aurat perempuan, hukum qis}as-diyat.Ibid., 117 – 134.

[35] Ibid., 28.

[36] Karim, Syari’ah, x.

[37] Sejauh pelacakan penulis lewat media internet, tidak ada tulisan yang memaparkan biografi Karim. Tulisan yang mengupas pemikiran Karimpun  sifatnya masih parsial.

[38] Nur Syam, Mazhab-Mazhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), 5.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: