Problematika Studi Hukum Islam di PTAI

PROBLEMATIKA STUDI HUKUM ISLAM DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM

(Lesson Learned Perkuliahan Metode Studi Islam di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Oleh: Abid Rohmanu

 

Iftitah 

Sebagaimana banyak dilansir oleh media, program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora – termasuk ilmu agama Islam – mengalami kejenuhan karena lulusan-lulusannya tiap tahun mengalami peningkatan pesat sementara sangat kecil yang bisa diserap pasar kerja. Berdasar fakta di atas, lembaga pendidikan tinggi seyogyanya cepat memberikan respon dengan melakukan autokritik terhadap sistem pendidikan yang selama ini mereka jalankan. Kejenuhan program studi menurut penulis bukanlah semata-mata persoalan jumlah lulusan yang tidak sebanding dengan medan kerja, akan tetapi juga berkaitan dengan mutu lulusan yang memang tidak kompetitif dan adaptif terhadap perkembangan sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Arus modenisasi dan globalisasi dengan ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dinamika sosial budaya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Perguruan Tinggi Agama Islam dituntut untuk bisa merespon kenyataan tersebut dengan mengembangkan model studi agama yang progresif, bukan dengan model studi agama yang reaksioner-apologetik. Model yang terakhir ini hanya akan membuat PTAI teralienasi dari peran dan fungsinya sebagai center of excellence. Karenanya, tidak ada pilihan lain bagi PTAI untuk selalu memodernisasi dirinya tanpa harus tercerabut dari nilai fundamental agama. Salah satu hal yang mendesak untuk dikaji ulang dan diperbarui adalah model dan sistem studi Islam di PTAI yang dalam tulisan ini difokuskan pada studi hukum Islam atau kesyari’ahan. Studi hukum Islam di PTAI lebih banyak diwarnai oleh kegiatan “konservasi” tradisi dan doktrin daripada mengembangkan keilmuan ini untuk menjawab tantangan dan problem sosial kemasyarakatan yang menjadi misi profetisnya.

Dengan menggunakan pendekatan struktural atau sistem, studi hukum Islam diasumsikan sebagai sebuah sistem yang mengandung variabel-variabel yang saling terkait dan berkelindan; dosen, mahasiswa, materi, metode, sarana prasarana dan yang lainnya. Artinya unsur-unsur ini bersama-sama memberikan kontribusi bagi kualitas mutu studi hukum Islam. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengupas semuanya, akan tetapi akan lebih difokuskan pada aspek metode keilmuan yang dikembangkan dalam studi hukum Islam, subject matter (materi) dan strategi pembelajaran.

Metodologi Studi Hukum Islam

Terma hukum Islam adalah khas Indonesia. Hukum Islam adalah penjabaran dan formula yang dipahami dari syari’ah. Dalam konteks ini, hukum Islam adalah upaya para ahli hukum untuk membumikan dan menerapkan syari’at sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Indonesia. Karena itu – berbeda dengan syari’ah – hukum Islam sebagai formula terapan dari syari’ah bersifat fleksibel, relatif dan realistis. Dalam pengertian ini hukum Islam identik dengan fiqh keindonesiaan.

Hukum Islam (fiqh) menurut ahli hukum mencakup subtantive rules dan metodologi yang terwadahi dalam us}u>l al-fiqh, atau dalam bahasa lain mencakup hukum Islam sebagai ‘ilmu’ dan ‘produk ilmu’. Hukum Islam sebagai ilmu mengisyaratkan bahwa disiplin ini tidak lepas dari kerangka filsafat keilmuan dan pendekatan-pendekatan yang bersifat sosial-humaniti.

Berbeda dengan hukum Islam sebagai sebuah produk ilmu (materi hukum) yang telah banyak mengalami reaktualisasi, hukum Islam sebagai kaidah/metode relatif tidak tersentuh upaya rekontruksi dalam studi hukum Islam di PTAI. Padahal, upaya pembaharuan hukum Islam yang berkutat pada materi hukum yang bersifat surface dan tidak menyentuh aspek metodologi (istinba>t} hukum) bukanlah solusi yang mengakar dan karenanya tetap saja hukum Islam belum mampu melampaui keterbatasan historisnya. Ada beberapa kemungkinan kenapa hal ini terjadi;

  1. Persepsi sebagian dosen dan mahasiswa bahwa metode istinba>t} hukum Islam  sebagaimana dirumuskan oleh ulama klasik adalah bersifat baku dan final,
  2. Pendekatan yang bersifat deduktif-doktriner-normatif masih mendominasi,
  3. Para dosen dan mahasiswa tidak mempunyai bekal filsafat keilmuan dan ilmu-ilmu penunjang lain yang memadahi.
  4. Para dosen dan mahasiswa masih memperlakukan khazanah teks/ulum al-din sebagai singel entity atau masih mempersepsikan ilmu agama, filsafat ilmu dan ilmu sosial-humaniora sebagai separated entity.

Kenyataan di atas dikuatkan oleh beberapa penilaian bahwa budaya studi hukum Islam di PTAI tak ubahnya studi fiqh di pesantren-pesantren yang lebih menekankan pewarisan tradisi fiqh daripada studi yang bersifat kritis, dan lebih menekankan kemapanan daripada perubahan.

Untuk mengembalikan fungsi dan peran hukum Islam yang bersifat liberatif (membebaskan) sebagaimana awal kemunculannya, peka dan responsif terhadap problem sosial, studi hukum Islam hendaknya diawali dengan pembaharuan world view kajian hukum Islam dan epistemologi hukum Islam. World view dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai unsur-unsur teologi dan tasawwuf/akhlak yang menjadi landasan dalam kajian hukum Islam. Sering kali aspek teologi dan tasawwuf dianggap terpisah sama sekali dari disiplin fiqh. Padahal, pada awalnya hukum Islam adalah studi yang meng-cover tidak saja aspek hukum, akan tetapi juga teologi dan fiqh. Ketika fiqh menjauh dari dua disiplin yang lain, maka fiqh menjadi bernuansa legal formal dan lebih banyak menjadi alat kontrol (tool of social control) daripada menjadi alat pembebasan yang bersifat transformatif.

Karena itu perlu dirumuskan usaha, meminjam konsep Amin Abdullah, integralitas dan interkoneksitas (penyatuan dan mengusahakan saling keterkaitan) antara khazanah fiqh, teologi dan tasawwuf. Akan tetapi sebelumnya perlu adanya pembaharuan paradigma (shifting paradigm) teologi dan tasawwuf yang lebih kontekstual dan adaptif terhadap tuntutan dan perkembangan sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Misalnya, persepsi ketuhanan yang lebih menampilkan kamahakuasaan dan keperkasaan Tuhan, dialihkan pada konsepsi ketuhanan yang lebih menonjolkan kemurahan dan kasih sayang Tuhan (tawh}i>d rah}maniyyah). Sementara dalam bidang tasawwuf adalah bagaimana menjadikan disiplin ini sebagai sumber penggalian aspek humanisme dalam Islam, daripada sekedar peribadatan-peribadatan yang bersifat eksklusif dan vertikal sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok tarekat. Dengan landasan seperti ini, penulis yakin fiqh akan mampu merespon perkembangan zaman dan lebih berwatak ramah, humanis dan pluralis.

Integralitas dan interkoneksitas tidak saja pada wilayah keilmuan Islam (fiqh, teologi dan tasawwuf), akan tetapi fiqh seharusnya juga terkoneksikan dengan natural sciences, social sciences dan humanities. Misalnya, bagaimana mengintegrasikan fiqh dengan hukum, fiqh dengan sosiologi dan fiqh dengan kerangka kerja filsafat ilmu. Hukum Islam sebagai ilmu, bagaimanapun harus bersifat publik, dalam artian metodologi dan produknya bisa diterima tidak saja internal agama, tetapi juga pihak eksternal karena mengikuti standar keilmuan.

Studi hukum Islam seharusnya juga aware dengan persoalan epistemologi keilmuan, menyangkut sumber hukum Islam, struktur dan metode yang dikembangkan dan validitas produk hukum. Dari aspek metode, studi hukum Islam hendaknya juga mengadopsi metode dan pendekatan yang lazim pada penelitian dan ilmu sosial. Metode dan nalar deduktif-normatif yang bersifat dominatif, perlu diimbangi dengan nalar induktif-kualitatif. Dengan pola pikir induktif ini hukum Islam diharapkan lebih dekat dengan realitas sosial empiris kemudian mengidentifikasi persoalan sosial yang ada dan mampu menawarkan penyelesaian persoalan (problem solving) riel kemasyarakatan daripada sekedar memelihara teks. Sementara yang dimaksud secara kualitatif adalah bahwa studi hukum Islam diorientasikan pada pemahaman meaning di balik hal-hal yang bersifat  fisik/formal dari pranata sosial dan hukum, pemahaman proses pembentukan hukum Islam dan konteks spesifik yang melatarbelakangi dan mengembangkan prinsip kausalitas bukan otoritas kesebabolehan (sult}ah al-tajwi>z) sebagaimana selama ini berkembang dalam tradisi fiqh.

Selain logika hukum yang bersifat induktif-kualitatif, logika hukum yang bersifat dialektik juga perlu dijadikan referensi alternatif. Logika yang terakhir ini untuk menutupi kelemahan yang ada pada logika yang bersifat linear (induktif dan deduktif). Menurut Plato, penggagas teori dialektika, tidak semua persoalan manusia bisa diselesaikan dengan model logika lurus sebagaimana silogisme, karenanya diperlukan dialektika.  Pendapat Plato ini relevan dengan kompleksitas persoalan hukum kontemporer. Teknik dan sifat masalah yang dihadapi dialektika berbeda dengan model logika lurus. Dialektika bermaksud menyelesaikan persoalan dengan jalan tengah (moderate), tidak hitam-putih sebagaimana hukum kausalitas (Logika antecedent). Karenanya kerangka berpikirnya  adalah tesis, antitesis menuju sistesis.[1]

Logika hukum yang bersifat dialektik termasuk kategorisasi penalaran hukum non-analitik. Penalaran non-analitik mengisyaratkan perlunya ekspansi (perluasan) makna rasionalitas. Rasionalitas dalam penalaran hukum tidaklah sama dengan logika linear. Ia mencakup setiap usaha untuk meyakinkan orang tentang nilai dan kebenaran dari suatu proposisi normatif. Dalam perenungan Perelman,[2] aksioma-aksioma tidak dengan sendirinya rasional tanpa adanya argumentasi-argumentasi yang mewakili semua sudut pandang.

Subject Matter Studi Hukum Islam

Subjet matter studi hukum Islam, meminjam konsep sosiologi, berkaitan dengan ‘paradigma’ sebuah disiplin keilmuan. Paradigma didefinisikan sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu (disiplin). Paradigma adalah konsep yang signifikan karena ia membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, dan bagaimana harus menjawabnya.

Paradigma studi hukum Islam dewasa ini di PTAI masih didominasi oleh hukum Islam sebagai produk, yakni materi-materi hukum Islam yang berserakan dalam kitab-kitab klasik sebagai hasil ijtihad para ulama tempo dulu. Obyek studi model ini pada akhirnya lebih banyak memelihara (konservasi) dan mewariskan tradisi dari generasi ke generasi. Karenanya, paradigma studi hukum Islam seperti ini berkontribusi terhadap kemandekan dan kejumudan fiqh.

Berbeda halnya kalau paradigma studi hukum Islam lebih berorientasi pada aspek metodologi. Sejarah menunjukkan bahwa dinamika hukum Islam era formatif dan juga era tadwi>n lebih disebabkan karena paradigma studi yang lebih berorientasi pada aspek metodologi atau us}u>l al-fiqh dalam makna yang lebih sempit. Usul al-fiqh pada era-era awal begitu akrab dengan nuansa kefilsafatan, bahkan dikatakan disiplin ini merupakan embrio bagi pertumbuhan filsafat Islam era sesudahnya. Paradigma ini setidaknya memberi kesadaran bahwa materi fiqh adalah produk logika hukum dalam babakan sejarah tertentu yang terikat dengan ruang dan waktu, dan karenanya perlu adanya rekonstruksi tidak saja pada aspek materi, akan tetapi aspek metodologi.

Perbedaan paradigma di atas, metodologi versus materi, disebabkan oleh pandangan kefilsafatan yang berbeda. Paradigma yang menekankan pada materi mempunyai pandangan bahwa hukum Islam adalah bersifat baku dan sakral dan bahwa agama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat dogmatik-taqlidiy, sementara paradigma yang lain bersifat vice versa. Pada akhirnya pandangan yang bersifat dogmatik-taqlidi ini mengembangkan metode dan teori-teori hukum yang lebih banyak dimaksudkan untuk melanggengkan tradisi, semisal teori qiyas yang bermaksud menganalogikan masa kekinian yang sedemikian kompleks dengan preseden-preseden masa lalu yang sangat terbatas.

Teori-teori hukum dewasa ini mestinya adalah teori yang responsif dan aspiratif terhadap tuntutan dan fenomena zaman. Ini merupakan konsekuensi dari pendefinisian fiqh/usul al-fiqh sebagai ilmu/kaidah untuk merumuskan hukum syara’ amali dari dalil-dalil yang rinci terkait dengan semua kode perilaku manusia. Jangkauan hukum Islam untuk mengatur persoalan perilaku manusia, baik aspek ibadah ataupun aspek mu’amalah yang terus berkembang adalah persoalan yang maha berat bagi disiplin ini, kecuali disiplin ini bersifat terbuka terhadap kontribusi keilmuan lain.

Karena itu kemudian berkembang kategori-kategori fiqh sosial dan fiqh ekologi misalnya. Persoalan global warming adalah bagian dari persoalan fiqh, fiqh ekologi yang tidak akan selesai dengan pendekatan fiqh konvensional. Begitu juga halnya dengan fiqh sosial di tengah perkembangan ilmu pengetahuan sosial-humaniora. Dalam hal ini hukum Islam seharusnya lebih banyak memberikan orientasi tata nilai dan selebihnya adalah wilayah disiplin keilmuan lain, natural sciences dan social sciences. Karenanya format pengenalan, pendalaman, dan penyatuan dua keilmuan ke dalam islamic studies merupakan PR yang tak akan kunjung usai. Apa yang dilakukan Kuntowijoyo, misalnya, dengan konsep ilmu sosial profetiknya yang mengusung tema humanisasi, liberasi dan transendensi layak untuk diapresiasi dan dikategorikan sebagai bagian dari kerja fiqh sosial.

Strategi Pembelajaran Hukum Islam

Pembelajaran adalah proses belajar dan mengajar antara mahasiswa dan dosen atau bisa dikatakan transfer keilmuan dari dosen kepada mahasiswa. Metodologi dan materi studi hukum Islam yang bagus belum cukup tanpa didukung oleh model pembelajaran yang berbasis pada budaya akademik pendidikan tinggi. Ini mengisyaratkan bahwa dosen PTAI tidak saja harus mempunyai kompetensi akademis akan tetapi juga profesional. Secara akademis, idealnya dosen PTAI mempunyai kualifikasi pendidikan yang linear dengan bidang ajarnya dan mempunyai wawasan akademis terkait dengan pengetahuan pendukung bidang ajarnya. Selain itu ia mampu mengembangkan bahan ajar secara logis. Secara formal penilaian kualifikasi dosen ini bisa dilihat dari riwayat akademis yang bersangkutan, termasuk pelatihan-pelatihan akademis yang pernah diikuti. Karena itu, menjadi bagian dari tanggung jawab PTAI untuk up grade SDM dengan kucuran beasiswa pendidikan dosen dan kegiatan pelatihan-pelatihan yang menunjang kompetensi akademis dosen.

Sedang kompetensi profesional lebih mensyaratkan adanya ketrampilan dan attitude dosen sebagai tenaga pengajar. Di antara kompetensi jenis ini adalah kemampuan dosen men-design perkuliahan dan melaksanakan proses tersebut. Design tersebut tentunya harus sesuai dengan misi PTAI dan disiplin keilmuan yang diampunya. Design tersebut terwadahi dalam kemampuan dosen membuat course outline yang di dalamnya antara lain adalah kemampuan membuat peta konsep mata kuliah dan merumuskan strategi  pembelajaran yang sesuai dengan bidang ajarnya. Kemampuan membuat dan melaksanakan course outline yang bagus akan menjadikan proses perkuliahan menjadi hidup dan menarik dan karenanya tujuan perkuliahan akan mudah tercapai.

Berkaitan dengan strategi pembelajaran ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan:

  1. Pembelajaran memanfaatkan tekhnologi informasi sebagai media untuk mempermudah akses dan daya serap mahasiswa terhadap pesan pembelajaran. Karenanya dosen dituntut bisa menyesuaikan dengan perkembangan tekhnologi, semisal kemampuannya mengelola presentasi dengan menggunakan notebook lcd dan proyektor, mengembangkan sistem e-learning dan yang semisalnya.
  2. Mengembangkan iklim pembelajaran yang demokratis dengan model active learning.
  3. Mensinergikan strategi pembelajaran dengan budaya akademik perguruan tinggi.
  4. Mengarahkan proses pembelajaran hukum Islam pada pemecahan masalah riel kemasyarakatan.  

Ikhtitam

Dari uraian di atas dapat diambil benang merah bahwa aspek metodologi, penentuan subject matter dan strategi pembelajaran adalah entitas-entitas yang bersifat sinergis dalam studi hukum Islam. Design yang padu dari ketiga entitas tersebut diarahkan pada pencapaian kompetensi mahasiswa berkaitan dengan kebutuhan/tuntutan masyarakat, pasar kerja dan profesi.

Atau dalam bahasa lain, studi hukum Islam hendaknya mendekatkan aspek fiqh dengan humanisme. Mendekatkan humanisme terhadap studi hukum Islam mengisyaratkan beberapa hal;

  1. Menjadikan hukum Islam lebih responsif dan fungsional dalam kehidupan kemanusiaan kontemporer yang kompleks, majemuk dan plural.
  2. Memberikan porsi peran nalar yang lebih dalam studi hukum Islam dengan mengintegrasikan/menginterkoneksikan hadlarah al-‘ilm dan hadlarah al-falsafah dalam studi tersebut.
  3. Menjadikan studi hukum Islam sebagai lokomotif sikap moderat dengan mengembangkan model scientific objectivism terhadap doktrin keagamaan sehingga doktrin tersebut bisa membumi dan diterima komunitas agama lain.

 

Walla>h A’lam bi al-S}awa>b.


[1] Lihat, Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 39.

[2] Edgar Bodenheimer, “Seventy-Five Years of Evolution in Legal Philosophy” dalam 23 American Journal of Jurisprudence (1978),202.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: