IMA<M AL-GHAZA<LI< DAN KERANGKA KEILMUAN US}U<L AL-FIQH
(TELA’AH TERHADAP AL-MUSTAS}FA< MIN ‘ILM AL-US}U><L)
Oleh: Abid Rohmanu§
Abstrak : Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana kontribusi al-Ghaza>li> terhadap kerangka keilmuan us}u>l al-fiqh. Sebagaimana diketahui al-Ghaza>li> adalah pemikir Islam ensiklopedis, akan tetapi kajian interkoneksitas pemikiran hukum Islam al-Ghaza>li dengan keilmuan lain yang dikuasainya belum semarak dilakukan. Dalam kerangka tersebut tulisan ini akan mengambil konsen, utamanya berkaitan dengan relasi penalaran fiqhiyyah yang bersifat baya>ni dengan model penalaran logika yang bersifat burha>ni. Kajian difokuskan pada karya masterpiece-nya, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l. Dalam kitab inilah pemikiran matang dan final al-Ghaza>li terumuskan. Di antara kesimpulan tulisan ini adalah bahwa penting untuk mendekatkan qiya>s fiqhi sebagai lokus dari episteme baya>ni dengan qiya>s burha>ni agar validitas keilmuan ini bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi di sisi lain, usaha ini diharapkan tidak membawa pada tekhnikalisme hukum yang akan mengaburkan sisi-sisi moralitas dan kemanusiaan manusia yang umumnya tidak bisa didekati dengan penalaran yang positivistik.
Kata Kunci: al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, Usul al-Fiqh, Qiya>s, Silogisme, ‘Illah, al-H}ad al-Awsat}.
PENDAHULUAN
Imam al-Ghaza>li> adalah penulis dan pemikir ensiklopedis. Nicholson pernah berandai-andai bahwa seandanya masih ada Nabi setelah Muhammad, tentu al-Ghaza>li>-lah orangnya.[1] Itu tidak terlepas dari curiosity al-Ghaza>li terhadap ilmu pengetahuan dan kebenaran. Karya-karya al-Ghaza>li mencakup berbagai cabang keilmuan Islam; teologi, filsafat, tasawwuf dan yurisprudensi (fiqh). Akan tetapi pemikirannya dalam bidang yurisprudensi tidak sepopuler pemikirannya dalam bidang keilmuan yang lain, sebagaimana ia lebih dikenal sebagai ahli tasawwuf, filsafat dan teologi.[2] Karena itu mengangkat pemikiran al-Ghaza>li> dalam bidang fiqh cukup signifikan, selain untuk memberikan apresiasi yang berimbang terhadap pemikiran al-Ghaza>li>, juga untuk melihat interkoneksitas pemikiran us}u>l-nya dengan disiplin lain yang dikuasainya. Asumsinya adalah bahwa pemikiran fiqh yang mengambil jarak dengan keilmuan Islam yang lain cenderung bersifat legal-formal daripada subtansial.
Selain itu, pemikiran tokoh tidak terlepas dari setting sosial budaya yang mengitarinya. Sebutan al-Ghaza>li> sebagai H}ujjah al-Isla>m tidak terlepas dari peran yang dimainkan dalam memproteksi Islam dan melawan trend pemikiran waktu itu. Ibn Khaldu>n, Bapak Sosiologi Islam, menegaskan bahwa al-raju>l ibn bi’atih (seseorang adalah anak zaman dan lingkungannya). Itu artinya persepsi kultural, posisi sosial dan tendensi personal seseorang bagaimanapun sulit untuk dihilangkan sama sekali. Karena itu tulisan ini akan diawali dengan penelusuran terhadap biografi al-Ghaza>li>.
Studi pemikiran us}u>l al-fiqh al-Ghaza>li> ini akan difokuskan pada karya masterpiece-nya, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l. Pemikirannya, khusunya dalam bidang us}u>l, yang terkodifikasikan dalam kitab ini dianggap sebagai pemikiran matang dan final al-Ghaza>li>. Karena itu menarik untuk mencoba menela`ah kitab ini dalam rangka melihat kerangka keilmuan us}u>l al-fiqh sebagaimana telah ditawarkan al-Ghaza>li>. Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba mengangkat persoalan logic dan qiya>s us}u>l al-fiqh menurut al-Ghaza>li>, mengingat bahasan ini penulis anggap menjadi diskursus yang khas dari Kitab al-Ghaza>li>.
BIOGRAFI IMA<M AL-GHAZA<LI<
Al-Ghaza>li> dan Lingkungan Keluarga
Nama lengkapnya adalah al-Shaykh al-Ima>m al-Bah}r Muh}ammad b. Muh}ammad b. Muh}ammad b. Ah}mad al-T}u>si al-Ima>m al-Jali>l Abu> H}a>mid al-Ghaza>li[3] al-Sha>fi’i. Gelar al-Sha>fi’I karena al-Ghaza>li bermadzab Shafi’iyyah, Abu Hamid karena salah satu anaknya bernama Hamid dan al-Ghaza>li> al-Tusi karena profesi ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan ia dilahirkan di Ghaza>lah, Bandar Thus, Khurasan pada tahun 450 H/1058 M.[4] Tidak banyak yang bisa diungkap tentang lingkungan keluarganya, kecuali secara global saja. Ia lahir dari keluarga miskin tapi mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi. Ayahnya, Muhammad, di sela-sela kesibukannya mencari nafkah secara rutin menghadiri majlis-majlis pengajian ulama`. Karenanya, Muhammad bercita-cita anak-anaknya menjadi sosok-sosok yang ‘alim dan shalih. Akan tetapi, Muhammad meninggal sebelum melihat mereka berproses menjadi apa yang ia inginkan. Muhammad meninggal sebelum anaknya, al-Ghaza>li>, berusia enam tahun. Walau begitu, do’a sang ayah terkabulkan, kedua anaknya menjadi ulama besar, al-Ghaza>li> menjadi penulis dan pemikir sementara saudara laki-lakinya, Majduddin (w. 520 H), menjadi da’i.
Sejak kecil al-Ghaza>li> dididik dengan akhlak yang mulia. Karenanya ia sangat membenci kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemewahan dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Sebaliknya ia sangat menyukai peribadatan, wara’ dan sikap zuhud. Al-Ghaza>li> menikah sebelum usia 20 tahun. Pendapat lain mengatakan bahwa al-Ghaza>li> menikah saat usia 34 tahun. Pendapat yang terakhir ini kelihatanya lebih kuat bila dilihat dari karakter al-Ghaza>li> dan kesibukannya dalam studi. Informasi tentang istrinya tidak banyak yang bisa mengungkap. Al-Ghaza>li> mempunyai 3 anak perempuan.
Pendidikan dan Karir Al-Ghaza>li>
Berdasarkan wasiat ayahnya, pendidikan dan pengasuhan al-Ghaza>li> selanjutnya diserahkan pada Ah}mad b. Muh}ammad al-Razikani. Ia adalah teman ayahnya dari Tus yang ahli tasawwuf dan fiqh. Setelah harta wasiat ayahnya habis, al-Ghaza>li> disarankan al-Razikani untuk masuk madrasah yang memberikan beasiswa penuh. Di kampung halamannya ini al-Ghaza>li> mempelajari dasar-dasar fiqh.
Setelah itu ia merantau ke Jurja>n, sebuah kota di Persia yang terletak antara Tabristan dan nisabur, untuk belajar pada Abu Nasr al-Isma’ili. Dari Abu Nasr ini al-Ghaza>li> banyak membuat catatan-catan fiqh yang sering kali disebut dengan al-ta’li>qah. Setelah itu ia kembali ke Tus, kampung halamannya. Di Tus al-Ghaza>li> banyak menelaah al-ta’li>qah-nya yang diperoleh dari Jurjan sebelum ia berangkat lagi ke Nisabur. Di Nisabur, ia masuk lembaga pendidikan Nizamiyyah di bawah ampuan Imam Abu al-Ma’ali al-Juwayni, seorang teolog Ash’ariyyah yang terkenal.[5] Dari al-Juwayni, al-Ghaza>li> tidak saja belajar disiplin teologi, akan tetapi juga fiqh, logika, dan filsafat. Al-Ghaza>li> menghabiskan masa studi di perguruan Nizamiyyah selama 8 tahun hingga gurunya, al-Juwayni meninggal (478 H/1085 M). Sebelum gurunya meninggal, al-Ghaza>li> sempat membukukan catatan-catatan kuliah fiqhnya dari sang guru. Bukunya tersebut ia beri judul al-Mankhu>l min Ta’li>qa>t al-Us}u>l. Tidak berlebihan bila kemudian, al-Juwayni melihat al-Ghaza>li> sebagai sosok mahasiwa yang berprestasi dan menjadikannya sebagai asisten.
Setelah selama 8 tahun bersama al-Juwayni, tepatnya usia 28 tahun, al-Ghaza>li> pergi ke Mu’askar berdekatan dengan pusat pemerintahan Nizam al-Mulk. Di tempat ini al-Ghaza>li> tetap setia melaksanakan kegiatan-kegiatan akademis dengan melibatkan orang-orang ternama kala itu. Profesionalitas al-Ghaza>li> mendapatkan simpati menteri Nizam al-Mulk, sehingga pada usia ke-34 tahun, al-Ghaza>li> diangkat sebagai guru besar lembaga pendidikan di Baghdad yang didirikan menteri tersebut. Ia menekuni profesi tersebut selama 4 tahun.
Keterlibatannya secara intens dalam dunia karir dan akademis pada akhirnya menimbulkan kepenatan dan problem epistemologis dalam diri al-Ghaza>li>. Ia menyangsikan track menggapai kebenaran yang selama ini ia tempuh. Hal ini mendorong al-Ghaza>li> menarik diri dari karir publik di Baghdad (488 H/1095 M) bertepatan dengan usianya yang ke-38 dan memutuskan untuk melakukan safari spiritual-intelektual (tujuan: Syam, Mekkah dan Damaskus), meditasi dan refleksi untuk menemukan hakikat jalan kebenaran. Setelah mempertimbangkan jalan kebenaran kaum teolog,[6] filosof[7] dan batini,[8] al-Ghaza>li> akhirnya menjatuhkan pilihan pada jalan sufi.[9] Jalan sufi menurutnya telah mensintesakan aspek teoritis dan keimanan dengan aspek pengalaman dan praktek, dan inilah yang dikehendaki oleh Islam.[10] Kritik al-Ghaza>li> pada dasarnya tidak ditujukan pada disiplin keilmuannya, akan tetapi pendekatan dan persepsi para ahlinya yang tidak tepat. Menurutnya disiplin keislaman harus dikonstruksikan pada spiritualisasi pemikiran dan praktek keagamaan; bentuk harus diberi ruh dan hukum serta ritual harus diberi visi etis. Dalam bidang hukum misalnya, kasuistri – penilaian benar atau salah dengan merujuk pada teori hukum dan konvensi sosial misalnya – adalah hal yang tercela karena telah mengorbankan ruh atau tujuan hukum (maqa>s}id al-shari>’ah).
Setelah sebelas tahun melakoni jalan sufi, al-Ghaza>li> merasa terpanggil kembali untuk menekuni profesinya, mengajar. Profesi ini menurutnya cukup signifikan untuk merespon perkembangan sosial budaya dan keagamaan waktu itu yang memprihatinkan, yakni; semakin berkembangnya sekularisasi filsafat, sempalisasi tasawwuf, perkembangan ajaran batiniah dan para pemuka agama yang cenderung korup. Keterlibatannya kembali pada dunia akademis membuatnya dipanggil kembali untuk menjadi guru besar di PT Nizamiyyah, Nisabur. Berangkatlah al-Ghaza>li> untuk memenuhi panggilan ini pada tahun 499 H/1106 M. Ia mengajar di Nizamiyyah ini selama 3 tahun dan pada masa ini, atas permintaan mahasiswanya, ia menulis al-Mustas}fa> min Us}u>l al-fiqh untuk kepentingan kuliah hukum.
Di akhir hayatnya, al-Ghaza>li> kembali ke Tus, kampung halamannya, untuk mengisi masa pensiun dengan mendirikan lembaga pendidikan dan monasteri, tempat untuk kontemplasi para sufi. Akhirnya, al-Ghaza>li> meninggal pada di Tus pada 505 H/1111 M.
Karya-Karya al-Ghaza>li>
Karya-karya al-Ghaza>li> mencapai 200-an judul. Obyektivitas dan ketulusannya mempengaruhi banyak khalayak pada eranya. Bahkan sampai era komtemporer ini tulisannya tidak lekang oleh waktu. Karya-karyanya banyak mendapatkan apresiasi, tidak saja oleh sarjana Muslim akan tetapi juga sarjana Barat dalam bentuk penterjemahan, kritik atau dukungan. Semua apresiasi tersebut pada esensi adalah upaya menafsir dan menkontekstualisasikan pemikiran al-Ghaza>li>.[11]
Hal tersebut di atas dikarenakan karya-karyanya, baik dalam subtansi atau metode, mempunyai ciri “modern”. Karya-karyanya secara umum bermuatan kritik atas taqli}d, pencarian prinsip-prinsip dasar keilmuan Islam, keberpihakannya pada moralitas yang semuanya dilakukan dalam bingkai obyektivitas pendekatan.[12] Akan tetapi, afiliasinya pada sistem teologi Ash’ariyyah yang bersifat diametral dengan konsepsi teologi Mu’tazilah, karya magnum opus filsafatnya Taha>fut al-Fala>sifah, dan karya Ih}ya>–nya yang bernuansa ‘irfa>ni dijadikan argumentasi oleh sebagian sarjana untuk menuduh al-Ghaza>li sebagai biang degradasi intelektual Islam.[13] Padahal kemunduran intelektual Islam mungkin lebih disebabkan karena khalayak terlalu fanatik terhadap al-Ghaza>li, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan curiosity-nya terhadap kebenaran hakiki, akan tetapi produk pemikirannya yang berkarakter historis.
Apa yang dilakukan al-Ghaza>li pada dasarnya adalah sebentuk usaha integralisasi dan penyatuan keilmuan Islam. Ketekunan dan karya-karyanya dalam berbagai keilmuan Islam (teologi, tasawwuf, fiqh) serta konsentrasinya pada filsafat dan logika adalah untuk memahami Islam secara ka>ffah. Akan tetapi usahanya tersebut dianggap telah menodai agama atau rasionalisme itu sendiri. Bagi yang berpandangan demikian menganggap agama dan filsafat adalah entitas yang bersifat terpisah (separate entity) dan menekuninya secara bersamaan adalah hal yang mustahil.
Berikut ini sebagian karya-karya al-Ghaza>li> dalam berbagai disiplin keilmuan Islam:[14]
No | Bidang Keilmuan | No | Judul Buku | Keterangan |
A | Tafsir | 1 | Jawa>hir al-Qur’a>n wa Duraruh | Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Muhammad Abul Quaesem, Kuala Lumpur 1977) dan Itali (Le Perle Del Corano, Milan, 2000) |
2 | Qanu>n al-Ta’wi>l | Sanggahan bagi mereka yang melakukan ta`wil yang menyimpang dari aturan al-Qur’an. | ||
B | Teologi | 3 | Al-Munqidh min al-D}ala>l | Autobiografi pengalaman spiritual al-Ghaza>li> |
4 | Al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d | Penjelasan sistem teologi Ash’ari’ayyah al-Ghaza>li | ||
5 | Al-Risa>lah al-Qudsiyah | Penjelasan sistem teologi al-Ghaza>li> yang kemudian dipadukan dalam kitab al-Ihya | ||
6 | Kita>b al-Arba’i>n fi Us}u>l al-Di>n | Pada awalnya merupakan bagian dari Jawahir al-Qur’an, kemudian dicetak secara terpisah. | ||
C | Tasawwuf/
Etika |
7 | Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n | Summa al-Ghaza>li> terhadap ilmu-ilmu keislaman |
8 | Kimiya al-Sa’a>dah | Versi Medium dari Ih}ya ‘Ulu>m al-Di>n | ||
9 | Mishkah al-Anwa>r | Penjelasan Mistisisme al-Ghaza>li> pada fase akhir. | ||
10 | Miza>n al-‘Amal | Paparan teori etika al-Ghaza>li> | ||
D | Fiqh | 11 | Al-Mustas}}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l | Penjelasan dan kitab standar teori hukum Islam Mazhab al-Sha>fi’i yang bisa dipersandingkan dengan al-‘Umad (al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar), al-Mu’tamad (Hasan al-Basri), al-Burha>n (al-Juwayni) |
12 | Al-Basi>t} fi al-Fiqh | Karya tidak diterbitkan yang didasarkan pada metodologi al-Shafi’I dan merupakan rinfkasan dari karya al-Juwayni Nihayah al-Mutlab. | ||
13 | Al-Wasi>t} fi al-Madhab | Kitab ini dinilai menjadi bagian dari 5 kitab standar mazab Shafi’i. | ||
14 | Al-Ta’li>qah | Komentar tentang Karya al-Juwayni | ||
15 | Asa>s al-Qiya>s | Berbicara tentang kontoversi teori qiya>s dan bermaksud meneguhkan teori qiya>s. Dibahas juga di dalamnya qiya>s kebahasaan dan qiya>s logika. | ||
16 | Al-Mankhu>l min Ta’li>qa>t al-Us}u>l | Termasuk karya awal al-Ghaza>li> dalam Usul al-Fiqh. | ||
17 | Al-Waj>iz fi Fiqh al-Imam al-Sha>fi’i | Ringkasan Usul al-Fiqh al-Shafi’I termasuk pendapat kontra dari Imam Malik, Abu Hanifah dan al-Muzni. | ||
E | Logika | 18 | Mi’ya>r al-‘Ilm | Catatan dari logika Aristoteles |
19 | Al-Qist}a>s al-Mustaqi>m | Usaha untuk melakukan deduksi kaidah-kaidah logika dari al-Qur’an dan menolak sistem logika ‘Isma’ili. | ||
20 | Mihk al-Naz}r | Ringkasan Logika Aristo | ||
E | Filsafat | 21 | Maqa>s}i>d al-Fala>sifah | Ringkasan dari Filsafat Islam Ibn Sina |
22 | Taha>fut al-Fala>sifah | Kitab ini membahas kelemahan-kelemahan filosof kala itu yang kemudian ditanggapi oleh Ibn Rushd dengan Taha>fut al-Taha>fut |
DESKRIPSI GLOBAL ISI DAN SISTEMATIKA AL-MUSTAS}FA<
Sebelum memasuki bahasan inti, al-Ghaza>li> memulai kitabnya dengan al-Muqaddimah. Dalam pendahuluannya al-Ghaza>li> menjelaskan motivasinya menulis al-Mustas}fa>, pemaparan tentang us}u>l al-fiqh dan kajiannya tentang keterkaitan disiplin ini dengan logika Yunani. Motivasinya menulis menurut penuturannya sendiri adalah respon terhadap permintaan para mahasiswanya ketika ia mengajar di Lembaga Pendidikan Nizamiyyah, Naisabur, untuk membuat tulisan tentang us}u>l al-fiqh yang sederhana, sistematis akan tetapi bersifat komprehensif.[15]
Selanjut al-Ghaza>li> memaparkan konsepsi keilmuan us}u>l al-fiqh, meliputi definisi us}u>l al-fiqh, posisinya dalam struktur keilmuan Islam dan ruang lingkupnya. Al-Ghaza>li> mendefinisikan us}u>l al-fiqh sebagai ilmu yang mengkaji tentang sumber-sumber (origins) hukum, syarat-syarat keabsahannya (validity) dan model, struktur serta metode penunjukannya pada hukum.[16] Us}u>l al-fiqh sebagaimana terdefinisikan tersebut menurutnya adalah ilmu yang mulia karena telah menggabungkan antara potensi nalar dan wahyu. Disiplin ini tandasnya – berbeda dengan ilmu kalam (teologi) yang bersifat kulli – merupakan keilmuan Islam yang bersifat partikular, karena menkonsentrasikan diri pada bahasan dalil-dalil hukum syara’. Ini sebagaimana ilmu tafsir, hadis dan tasawwuf. Dus, secara hirarkis us}u>l al-fiqh berada di bawah payung teologi. Mereka yang belajar us}u>l al-fiqh diasumsikan telah mapan dalam aspek teologis.[17] Pandangan dasar (pra asumsi) terkait dengan bahasan us}u>l al-fiqh diterima secara taken for granted dari ilmu kalam. Artinya bahwa us}u>l al-fiqh tidak melakukan verifikasi, karena telah dilakukan oleh ilmu kalam, misalnya tentang hakikat wahyu, kenabian dan syari’at.
Pendefinisian epistemologi us}u>l al-fiqh al-Ghaza>li> (origin, method dan validity) membawa pada implikasi pada ruang lingkup dan sistematika bahasan us}u>l al-Ghaza>li>. Maksud studi us}u>l al-fiqh menurutnya untuk mengetahui “bagaimana menemukan hukum dari dalil”. Jawaban atas pertanyaan ini mengimplikasikan pengetahuan detail tentang hukum, dalil dan pembagiannya, bagaimana memeras hukum dari dalil dan kualifikasi subjek yang menemukan hukum. Hukum adalah buah yang tentu mempunyai karakter/ciri, mempunyai (pohon) yang mengeluarkan buah, yang memetik dan cara/metode memetik. Dalam ungkapan lain, us}u>l al-fiqh berkepentingan untuk menjawab; apakah hukum syar’i itu, di mana hukum tersebut ditemukan (apa sumber hukum itu), bagaimana cara/metode menemukan hukum dan siapa yang berwenang menggali hukum tersebut? Karena itu, ruang lingkup dan sistematika kajian us}u>l al-fiqh al-Ghaza>li> meliputi 4 poros bahasan, sebagaimana tergambar di bawah ini berikut break down masing-masing poros:
Berdasar karakteristik bahasan di atas, maka al-Mustasfa al-Ghaza>li> termasuk kitab yang mengambil garis manhaj al-mutakallimin. Manhaj ini berupaya untuk melakukan kajian persoalan usuliyyah secara tuntas dengan kajian yang bersifat teoritis dan menghindari persoalan-persoalan khilafiyyah dan furu’iyyah. Hal ini karena tujuan metode ini adalah memperoleh kaidah usuliyyah yang kuat. Ciri lain dari metode ini adalah usaha merelevansikan kaidah usuliyyah dengan dilala>h al-laf dan prinsip-prinsip kebahasaan.[18]
AL-GHAZA<LI<, LOGIC DAN QIYA>S US}U><L AL-FIQH
Kebanyakan tela`ah terhadap al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l menkonsentrasikan diri pada bahasan hukum murni, tidak pada keterkaitan hukum dengan kaidah logika sebagaimana yang ditawarkan al-Ghaza>li>. Al-Mustas}fa> adalah kitab us}u>l pertama yang menjadikan uraian-uraian prinsip logika sebagai pengantarnya. Ini mengisyaratkan bahwa al-Ghaza>li> hendak mensintesakan atau menjadikan logika sebagai basis penalaran hukum sebagaimana telah dikatakannya sendiri bahwa mereka yang menyepelekan logika/mantik, maka keilmuannya tidak dianggap thiqah. Pengantar logikanya tidak berarti hendak menjadikan logika sebagai bagian dari us}u>l al-fiqh, akan tetapi logika menjadi pengantar dan dasar semua keilmuan, termasuk us}u>l al-fiqh (wa laysat hadzih al-muqaddima>t min jumlah ‘ilm al-us}u>l wa la> min muqaddima>tih al-khas}s}ah bih, bal hiya muqaddimah al-‘ulu>m kulluh, wa man la yuh}i>t} biha> fala> thiqata lahu bi’ulu>mih as}la>n).[19]
Logika secara singkat didefinisikan sebagai disiplin yang mengkaji metode-metode dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan yang benar dari yang salah dari proses penalaran.[20] Dalam kajian logika, tidak saja mensyaratkan “kesimpulan” yang diambil dari premis-premis harus benar, akan tetapi bentuk teoritik atau form berpikir juga harus benar dan logis. Karena itu untuk memperoleh pengetahuan yang benar mensyaratkan bentuk berpikirnya juga harus benar.
Sebagai sebuah pengantar, uraian prinsip-prinsip logik tidak sedetail uraian al-Ghaza>li> dalam kitab-kitabnya yang lain yang khusus mengkaji logika Yunani, Mi’ya>r al-‘Ilm[21] dan Mihk al-Nazr. Secara umum pengantar logikanya (al-Mustas}fa>, hlm. 12 – 58) membahas tentang al-h}ad (definisi) dan al-burha>n. Dalam memperoleh pengetahuan, manusia harus melewati dua proses keilmuan, pertama adalah penemuan makna zat-zat yang bersifat mufrad (idra>k al-dzawa>t al-mufradah), sebagaimana pengetahuan kita tentang makna jism (tubuh), h}arakah (gerakan), alam, h}a>dis (baru) dan qadi>m (lama) serta makna-makna mufrad yang lain. Kedua adalah penisbahan atau membangun relasi antar makna-makna individual tersebut baik dengan model negasi (nafy) atau afirmasi (ithba>t) sehingga bangunan relasi tersebut bisa dinilai benar atau salah. Sebagai misal penisbahan “alam” dan “baru” yang bersifat afirmatif; “alam adalah baru” (al-‘a>lam h}a>dis), atau menisbahkan “qadi>m” (tidak berpermulaan) terhadap “alam” dengan model negasi; “alam tidak bersifat qadim” (lays al-‘a>lam qadi>ma>n). [22]. Karena itu di kalangan Ahli Mantik dikenal tas}awwur – tas}di>q dan ma’rifah – ‘ilm. Tas}awwur adalah pengetahuan dan persepsi terhadap entitas-entitas yang bersifat individual atau pengetahuan tentang konsep dan menghasilkan ma’rifah, sementara tas}di>q adalah pengetahuan tingkat lanjut berdasar relasi antar entitas atau proposisi dan menghasilkan ilm. Yang pertama adalah wilayah kajian al-h}ad (definisi) dan al-rasm, yang kedua wilayah al-burha>n (qiya>s, istiqra` dan metode penalaran lain). al-H}ad dan al-burha>n adalah alat untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat kasbi (al-‘ulu>m al-mat}lu>bah).
Selanjutnya al-Ghaza>li> menguraikan tentang al-h}ad, prinsip-prinsip dan verifikasi terhadap prinsip-prinsip tersebut. Makalah ini tidak akan mengungkap persoalan al-h}ad, akan tetapi lebih menkonsentrasikan diri pada wilayah konstruksi makna atau al-burha>n.[23] Al-burha>n adalah bentuk aktivitas nalar deduktif yang berangkat dari dua premis (muqaddimah) yang diketahui sebelumnya, disusun secara khusus, dengan syarat-syarat khusus, yang kemudian premis tersebut melahirkan kesimpulan (nati>jah).[24] Al-burha>n dengan definisi sebagaimana tersebut penting untuk diungkap sebagai pembanding teori qiya>s dalam us}u>l al-fiqh. Contoh dari al-burha>n, misalnya;
setiap tubuh(jism) pasti tersusun,
dan setiap yang tersusun adalah pasti baru,
maka setiap tubuh (jism) pasti adalah baru.
Contoh yang lain yang secara materi sering diungkap dalam usul al-fiqh adalah;
setiap nabidz (perahan anggur) adalah memabukkan,
dan setiap yang memabukkan hukumnya haram,
maka tiap nabidz harus dihukumi haram.
Inilah contoh relasi dua muqaddimah yang menghasilkan nati>jah. Menurut al-Ghaza>li>, jika premis-premis diakui sebagai benar, maka nati>jah dengan sendirinya harus diterima.
Al-Ghaza>li> menambahkan bahwa jikalau premis-premis yang ada bersifat definitif (qat}’iyyah), maka penalaran dengan premis ini disebut dengan al-burha>n (deduksi-silogisme). Di bawah al-burha>n adalah qiya>s jadali dengan premis yang diterima/diakui. Dan jika premis-premisnya bersifat z}anni, maka disebut dengan qiya>s fiqhi (legal analogy). Jika disebut as}l qiya>s, maka setiap premis (muqaddimah) pada dasarnya adalah as}l. Bangunan dua as}l menghasilkan nati>jah. Para yuris umumnya bernalar: nabidz (perahan anggur) memabukkan, maka ia dihukumi haram, diserupakan (qiya>s) dengan khamr. Pengetahuan tentang efek mabuk dari nabidz adalah dengan observasi dan pengalaman, sementara keharaman minuman memabukkan didasarkan pada khabar; “kullu muskir haram”.[25]
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa penalaran al-burha>n mensyaratkan adanya dua muqaddimah/premis mayor dan minor;
- Premis I : Tiap nabidz memabukkan. Terdiri dari subjek dan predikat (mubtada` dan khabar). Subjek sebagai mah}ku>m ‘alayh dan predikat sebagai h}ukm.
- Premis II : Setiap yang memabukkan adalah haram. Unsur-unsurnya sebagaimana premis I.
- Nati>jah/Konklusi : Maka, tiap nabidz dihukumi haram.
Karena itu maka, dalam al-burha>n terdapat 4 unsur, hanya saja satu unsure diantara empat tersebut diulang penyebutannya dalam premis berikutnya, dan inilah yang menyatukan dua premis tersebut. Unsur ini dalam qiya>s fiqhi disebut dengan ‘illah yang dalam contoh di atas adalah “memabukkan”. ‘Illah tersebut dalam teori silogisme disebut dengan term tengah (al-h}ad al-awsat}/middle term). Term tengah ini adalah term ketiga dari silogisme yang tidak disebut dalam konklusi, akan tetapi muncul dalam kedua premisnya yang berfungsi menyatukan keduanya. Sedangkan dua term yang lain adalah term mayor dan term minor. Term minor berfungsi sebagai subyek konklusi (tiap nabidz) sedang term mayor berkedudukan sebagai predikat konklusi (dihukumi haram).
Itulah kerangka penalaran al-burha>n menurut al-Ghaza>li> atau silogisme-demonstratif dalam bahasa Yunani. Sementara itu qiya>s fiqhi sebagaimana definisi yang dipilih al-Ghaza>li> adalah : “h}aml ma’lu>m ‘ala ma’lu>m fi ithba>ti h}ukm lahuma> aw nafyihi ‘anhuma> bi amr ja>mi’ baynahuma> min ithba>t} h}ukm aw sifah aw nafyihi ‘anhuma>”.[26] Pilihan kata “h}aml” menunjukkan bahwa qiya>s merupakan usaha dan kreasi mujtahid, sementara itu karena as}l dan far’ dalam qiya>s tidak selalu bersifat afirmatif, maka penggunaan kata “ma’lu>m”, bukan shay` (sesuatu) lebih tepat. Sesuatu yang bersifat negasi/ma’dum bukanlah shay` (sesuatu).
Lebih jauh al-Ghaza>li> mengatakan bahwa definisi qiya>s cukup beragam, sebagian lebih luas dari cakupan qiya>s itu sendiri dan vice versa. Sementara itu definisi qiya>s yang dilontarkan para filosof, tarki>b muqaddimatayn yah}sul min huma> nati>jah, juga terlalu jauh dari hakikat qiya>s fiqhi itu sendiri. Dalam kitabnya Mi’ya>r al-‘Ilm, al-Ghaza>li> mengatakan bahwa hujjah atau pola nalar keilmuan yang bersifat tas}diqiyyah ada tiga; qiya>s, istiqra>` dan tamthi>l. Tamthi>l yang dimaksudkannya adalah al-qiya>s al-fiqh, atau rad al-gha>ib ‘ala al-sha>hid menurut mutakallimu>n dan tashbi>h menurut ahli bahasa. Sementara qiya>s yang dimaksudkan dalam buku tersebut adalah al-burha>n atau silogisme demonstrative.[27] Qiya>s juga tidak sama dengan ijtihad, qiya>s dan ijtihad bukan isma>ni li ma’n wa>h}id[28] sebagaimana dilontarkan al-Sha>fi’i. Ijtihad lebih luas cakupannya dari qiya>s, ia bisa meliputi varian metode selain qiya>s. al-Ghaza>li> membedakan konsep-konsep berikut; tafakkur, tadabbur, istinba>t}, qiya>s dan ijtiha>d.
Dari contoh-contoh sebelumnya, bentuk-bentuk al-burha>n memang identik dengan qiya>s fiqhi dan kemestian konklusi/nati>jah memang tidak bisa dipungkiri sebagai hasil dari bangunan relasi premis. Akan tetapi menurut al-Ghaza>li>, qiya>s fiqhi menuntut relasi antar premis adalah relasi kesamaan dan kedekatan (al-musa>wah wa al-muqa>rabah). Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari penggunaan makna etimologis qiya>s dalam ranah budaya Arab. qiya>s secara etimologis adalah:
“تقدير شيئ على مثال شيئ اخر وتسويته به” [29]
Artinya, qiya>s adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain dan menyamakannya). Dalam al-Munjid fi al-Lughah disebutkan “قاس الشئ بغيره او على غيره”, yang artinya, “قدره على مثاله”,[30] atau mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Hallaq menegaskan bahwa hukum Islam pada dasarnya adalah case law. sifat fiqh yang kasuistik, concern pada kasus-kasus individual dari pada aturan yang bersifat general, maka penalaran fiqh dengan pola kasus ke kasus dan bagian ke bagian lain, atau yang disebut dengan legal analogy menjadi sangat relevan.[31]
Selain itu al-Ghaza>li> juga menyatakan bahwa pada dasarnya qiya>s fiqhi adalah qiya>s shabah, atau karakter dan penamaan shabah bisa dilekatkan pada qiya>s. Karena penisbahan far’ pada asl lebih didasarkan pada ja>mi’/’illah yang diserupakan antara as}l dan far’.[32] Karena itu, sebagian berpendapat bahwa qiya>s fiqhi mempunyai fungsi etimologis yang sama dengan tashbi>h. ‘illah (al-ja>mi’) sendiri dalam disiplin us}u>l al-fiqh dipersyaratkan untuk muna>sib (berkesesuain). Al– muna>sib dari segi bahasa adalah al-muqa>rabah, karenanya muna>sib-nya ‘illah bisa bermakna sifat yang mendekatkan (approach) pada hukum (al-wasf} al-muqa>rib li al-h}ukm).[33]
Hal tersebut di atas tidak lepas dari penegasan al-Ghaza>li> di pengantar logikanya dalam al-Mustas}fa> bahwa qiya>s fiqhi berbeda dengan qiya>s jadali dan qiya>s burhani. Premis-premis qiya>s fiqhi bersifat spekulatif (zan). Hal itu disebabkan ‘illah hukum as}l tidak secara eksplisit disebutkan, akan tetapi digali sendiri oleh yuris dan diselidiki keberadaannya pada far’. Qiya>s model ini disebut dengan “al-qiya>s al-kha>fi”. Model qiya>s inilah yang disebut al-Ghaza>li> sebagai ijtihad di dalam mengeluarkan dan meng-intinba>t}-kan isyarah hukum (takhri>j mana>t} al-h}ukm wa istinba>t}uh).[34] Menurut al-Ghaza>li>, ‘illah yang bersifat mustanbat}ah pada dasarnya tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum, akan tetapi ada isyarat-isyarat dan eksplanasi teks yang membolehkannya, termasuk pengalaman sejarah menunjukkan wajibnya ta’li>l (rasionalisasi hukum). karenanya ia tidak berbeda dengan tahqi>q dan tanqi>h} mana>t} al-h}ukm.[35]
Senada dengan hal di atas, Ibn Taymiyyah – walaupun menolak pendapat yang menyatakan bahwa qiya>s us}u>l al-fiqh bersifat inferior terhadap qiya>s burha>n (silogisme) mengakui bahwa titik lemah qiya>s fiqhi terletak pada subtansi material premis, khususnya pada ‘illah. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Hallaq, : “Jika subtansi material premis bersifat pasti, tanpa memandang bentuk penalaran analogi atau silogisme, maka konklusi yang diperoleh juga bersifat pasti”. Ibn Taymiyyah menandaskan, sebagaimana juga terlihat dalam uraian di atas, bahwa dari sisi bentuk (form), analogi (qiya>s) equivalent dengan silogisme (al-burha>n).[36]
Karena itu maka premis qiya>s fiqhi secara materi seyogyanya ditingkatkan derajad kepastiannya dengan lebih menyandarkan premis-premisnya pada kulliyat-kulliyat shar’iyyah dan maqa>s}id shar’iyyah dan bukan pada ‘illah yang sering kali terjebak pada persoalan kebahasaan dan teologi. Penalaran qiya>s fiqhi pada dasarnya berada dalam bingkai ma’qu>l al-nas}}, yakni transfer hokum as}l ke far’ bersandar pada kandungan teks (ma’qu>l al-nas}), akan tetapi kandungan teks tersebut diperoleh dengan orientasi berlebihan pada dila>lah al-khit}a>b (petunjuk wacana) yang focus tela`ahnya pada hubungan lafaz dan makna yang bersifat problematic (ishkaliyyat al-lafz} wa al-ma’na). selain itu dari sisi teologis, menjadikan ‘illah sebagai motif dan kausa hokum mengundang kontoversi berkaitan dengan apakah kehendak Tuhan dibatasi dengan tujuan dan kausa tertentu atau bersifat mutlak. Karena itulah, al-Jabiri menilai bahwa bahwa teori qiya>s dalam us}u>l al-fiqh terjebak pada tiga otoritas (sult}ah); sult}ah al-lafz, sult}ah al-as}l dan sult}ah al-tajwi>z.
Hallaq dalam kajiannya perbandingannya antara system hukum Islam dan system Common Law menyimpulkan bahwa hokum Islam lebih banyak memprioritaskan konsistensi logic dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain, termasuk perubahan hokum. Dan ini dinilai sebagai negative vis a vis prinsip dinamika dan elastisitas hukum Islam.[37] Karena itu, penalaran hukum yang bersifat analitik – dengan memperhatikan logika deduktif yang berasal dari premis-premis yang bersifat aksiomatik – perlu juga diimbangi dengan penalaran hukum yang bersifat non-analitik, yakni dengan melibatkan sudut pandang yang komprehensif, termasuk sisi-sisi kemanusiaan manusia dan moralitas.
PENUTUP
Dari studi terhadap magnum opus hukum Islam al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l ada beberapa benang merah yang bisa diambil:
- al-Mustas}fa> al-Ghaza>li> adalah satu-satunya kitab yang menjadikan bahasan logika sebagai pengantarnya. Itu artinya al-Ghaza>li> mencoba melakukan integralisasi usul al-fiqh dengan disiplin lain untuk pengembangan disiplin ini.
- Kajiannya pada logika membawa pada kesimpulan bahwa qiya>s fiqhi berbeda dengan al-burha>n/silogisme, karena premis qiya>s fiqhi bersifat spekulatif.
- Penting untuk mendekatkan qiya>s fiqhi dengan qiya>s burha>ni agar fiqh sebagai sebuah keilmuan mempunyai validitas yang yang diakui. Akan tetapi wacana penalaran fiqh yang bersifat non-analitik-pun perlu dikembangkan untuk menjaga keseimbangan antara aspek tekhnikalisme hukum dan aspek kemanusiaan dan moralitas.
- Subtansi al-Mustas}fa> pada dasarnya merupakan usaha untuk merekonsiliasikan dan mensintesakan peran akal dan wahyu dengan porsi dan wilayah masing-masing.
- al-Mustas}fa> adalah kitab usul yang ditulis dengan menggunakan metode ahli ilmu kalam (Shafi’iyyah). Ciri metode penulisan ini sebagaimana ada dalam al-Mustas}fa> adalah:
- Memusatkan pada kajian yang bersifat teoritis untuk menghasilkan kaidah usul yang kuat, walau terkadang berseberangan dengan mazab penulisnya.
- Kajian kebahasaan yang kuat.
- Menghindari hal-hal yang bersifat furu dan fanatisme mazab.
- Dilihat dari muatan ideologis, al-Mustas}fa> pada dasarnya adalah sosialisasi dan penguatan mazab hukum ahl al-sunnah/Shafi’iyyah. Itu tidak terlepas keterkaitan erat al-Ghaza>li> dengan Perguruan Nizamiyyah yang didirikan untuk membendung pengaruh syi’ah dan menyiapkan pengisian jabatan-jabatan publik yang beraliran ahl al-sunnah. (Dimuat dalam Justitia Islamica STAIN Ponorogo, Vol 6, No. 2, Juli-Desember 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam; Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Al-Ghaza>li, Abu Hamid Muhammad b. Muhammad b. Muhammad. Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Dar Ihya` al-Turath al-‘Arabi, 1997.
______________. Asas al-Qiya>s, Tahqiq: Fahd b. Muhammad al-Sadhan (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1993.
______________. Mi’ya>r al-‘Ilm, Ed. Shams al-Din (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Al-Ja>biri>, Muhammad ‘Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993.
al-Sha>fi’i, Muh}ammad b. Idri>s. al-Risa>lah. ed. Ahmad Muhammad Shakir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Anwar, Syamsul. Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us{u>l Karya Imam al-Ghaza>li (450 – 505 H/1058 – 1111 M). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000.
Badwi, ‘Abd al-Rahman. Muallafa>t al-Ghaza>li. Kuwayt: Waka>lah al-Mat}bu>ah, 1977.
Copy, Irving M. Introduction to Logic. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978.
Coulson, N. J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Dahlan, Abdul Aziz et. al. (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Eva Y.N. at. al. (pent.), “al-Ghaza>li, Abu Hamid”, Ensiklopedi Oxford. Jakarta: Mizan, 2002.
Hallaq, Wael B. Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam. Burlington: Ashgate, 1995.
Hasan, Khalid Ramadan. Mu’jam Usu>l al-Fiqh. Mesir: al-Rawdah,1998.
Isma’il, Sa’ban Muhammad. Us}u>l al-Fiqh; Tarikhuh wa Rijaluh. Mekkah: Dar al-Salam, 1998.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Mashriq, 1998.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Sumber Web
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghaza>li#Catatan, Akses Maret 2008.
http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm dan http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghaza>li#Catatan
http://www.goodreads.com/story/show/12243.EPISTEMOLOGI_FILSAFAT_AL_GHOZALI, Akses Maret 2008.
- § Penulis adalah Tenaga Pengajar (TP) Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo dan Mahasiswa S3 Program Studi Hukum Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[1]http://www.goodreads.com/story/show/12243.EPISTEMOLOGI_FILSAFAT_AL_GHOZALI
[2] Syamsul Arifin dalam disertasinya menampilkan beberapa penilaian terhadap al-Ghaza>li sebagaimana dilontarkan Margareth Smith, Hasan Ibrahim Hasan dan Goldziher yang lebih menampilkan Imam al-Ghaza>li sebagai pemikir dalam bidang teologi, filsafat dan tasawwuf daripada fiqh. Kemudian Arifin mengidentifikasi argumentasi-argumentasi yang menguatkan bahwa nuansa pemikiran fiqhiyyah dalam diri al-Ghaza>li cukup dominan. Lihat Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustas}fa min ‘Ilm al-Us{u>l Karya Imam al-Ghaza>li (450 – 505 H/1058 – 1111 M) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), 52.
[3] Abu Hamid Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa min ‘Ilm al-Us}u>l (Beirut: Dar Ihya` al-Turath al-‘Arabi, 1997), 9.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghaza>li#Catatan, Akses Maret 2008.
[5] Eva Y.N. at. al. (pent.), “al-Ghaza>li, Abu Hamid”, Ensiklopedi Oxford (Jakarta: Mizan, 2002), 111.
[6] Kaum teolog menurut al-Ghaza>li terlalu mempersoalkan hal-hal sepele yang tidak bersentuhan dengan kehidupan konkrit. Karenanya tidak berkontribusi terhadap penyelesaian problem sosial kala itu. Ibid.
[7] Al-Ghaza>li sebenarnya tidak menkritik wacana filsafat secara keseluruhan. Tetapi kritiknya terutama diarahkan pada diskursus metafisika yang menurutnya ibarat memintal jaring laba-laba metafisis yang tidak subtansial arahan tradisi filsafat Yunani. Ibid.
[8] Kaum esoteris Batini menurutnya tidak PD dengan kemampuan sendiri dan menggantungkan bahwa pengetahuan hanya bisa didapat dari Imam yang sempurna. Lihat, Ibid.
[9] Selain itu ada beberapa alasan yang dilontarkan al-Ghaza>li terkait dengan keterlibatannya dengan tasawwuf dan kepergiannya meninggalkan Baghdad; melakukan penyelidikan kebenaran ajaran sufi, situasi politik dan kebobrokan moral saat itu dan keinginannya untuk menimba ilmu tasawwuf dari Abu al-Fath Nasir b. Ibrahim al-Maqdisi al-Nabulusi. Lihat Syamsul Anwar, Epistemologi, 80.
[10] Sebagai misal, para sufi menurutnya telah mengalami realitas-realitas yang hanya diwacanakan oleh para teolog.
[11] Eva Y.N. at. al. (pent.), “al-Ghaza>li, Abu Hamid”, 113.
[12] Ibid
[13] http://www.goodreads.com/story/show/12243.EPISTEMOLOGI_FILSAFAT_AL_GHOZALI, Akses Maret 2008.
[14] Sumber: al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 10, Eva Y.N. at. al. (pent.), “al-Ghaza>li, Abu Hamid”, 113, http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm dan http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghaza>li#Catatan. Untuk mengetahui lebih lengkap karya al-Ghazali, baik yang sudah tercetak maupun yang masih makhtutah, bisa dilihat juga dalam al-Ghazali, Asas al-Qiyas, Tahqiq: Fahd b. Muhammad al-Sadhan (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1993), 16 – 19. Lebih lengkap lagi bisa dilihat kitab yang secara khusus membahas karya-karya al-Ghazali, termasuk sejarah karya-karya tersebut, ‘Abd al-Rahman Badwi, Muallafa>t al-Ghazali (Kuwayt: Waka>lah al-Mat}bu>ah, 1977).
[15] Tidak seperti karyanya terdahulu, Tahdhib al-Usul yang dinilai panjang dan kompleks dan tidak juga seperti al-Mankhul yang kelewat ringkas. al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 14.
[16] Ibid., 15. Definisi al-Ghaza>li di atas bercorak filsafati/epistemologis sebagaimana Runes mendefinisikan epistemologi sebagai “Epistemology is the branch philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge. Lihat, Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 23.
[17] al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 17.
[18] Selain al-Mustasfa, kitab yang menganut metode al-mutakalllimun (metode Shafi’iyyah) antara lain adalah karya al-Shafi’I sendiri, al-Risalah, Abu al-Husayn al-Bas}ri, al-Mu’tamad fi Usul al-Fiqh, al-Juwayni, al-Burhan fi Usul al-Fiqh, al-Shayrazi, al-Luma’, dan lainnya. Sementara metode yang lain dalam penulisan usul al-fiqh adalah manha>j al-Ah}naf yang secara umum mempunyai karakter yang berseberangan dengan metode al-Mutakallimun dan metode yang mencoba menggabungkan dua metode di atas. Lihat Khalid Ramadan Hasan, Mu’jam Usu>l al-Fiqh (Mesir: al-Rawdah,1998), 8.
[19] Ibid., 12.
[20] Irving M. Copy, Introduction to Logic (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978), 3.
[21] Lihat, Al-Ghazali, Mi’ya>r al-‘Ilm, Ed. Shams al-Din (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
[22] al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 12.
[23] Tentu karena keterbatasan tulisan ini, persoalan al-had tidak dikupas. Walaupun pada dasarnya, menurut al-Ghazali, berbicara tentang al-burhan adalah berbicara tentang muqaddimah dan berbicara tentang muqaddimah (premis) tentu berbicara tentang subjek-predikat premis (mahkum ‘alayh-hukm/mawdu>’-mahmu>l) dan ini berarti berbicara tentang al-had (persoalan konsep, lafaz dan petunjuknya). Lihat, Lihat, Al-Ghazali, Mi’ya>r al-‘Ilm, 41 – 42.
[24] al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 44.
[25] Ibid.
[26] Ibid., 96. Lihat juga al-Ghazali, Asas al-Qiyas, 13 – 14.
[27] Al-Ghazali, Mi’ya>r al-‘Ilm ,111.
[28] Muh}ammad b. Idri>s al-Sha>fi’i, al-Risa>lah, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.) , 477. Berdasar ungkapan al-Sha>fi’i di atas, Sulaiman Abdullah menilai bahwa ijtihad menurut al-Safi’i hanyalah qiya>s, bukan teori-teori yang lain. Dengan kata lain, ijtihad identik atau sinonim dengan qiya>s. Ia tidak menerima teori ijtihad yang lain. Lihat Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam; Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996),108. Ijtihad sebenarnya adalah terma umum berupa penggunaan nalar manusia untuk mengelaborasi hukum, terma tersebut mengkaver varian proses mental sejak dari interpretasi teks sampai penilaian terhadap otentisitas tradisi. Karena itu, qiya>s hanyalah bagian dari makna ijtihad. Lihat Coulson, N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press), 59.
[29] Muhammad ‘Abid al-Ja>biri>, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 137.
[30] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1998), 665.
[31] Wael B. Hallaq, Law and Legal Theory in Classical and Medieval Islam (Burlington: Ashgate, 1995), 85.
[32] al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa,141. Qiya>s shabah atau juga t}ard berbeda dengan qiya>s yang ‘illah-nya bersifat mu’aththir atau mula>`im.
[33] Al-Ja>biri>, Bunyah, 244.
[34] Ijtihad model di atas banyak diperselisihkan oleh penentang teori qiya>s. Itu berbeda dengan ijtihad model tahqiq manat al-hukm dan tanqih manat al-hukm. Lihat, al-Ghaza>li, Al-Mustas}fa, 97 – 99.
[35] Ibid., 99.
[36] Hallaq, Law and Legal Theory, 94.
[37] Ibid.
thanks for your apreciation to my writing. What I wrote just my little knowledge of the al-Ghazali’s thought. by the way, do you read indonesian?