Budaya Konsumtif dalam Tilikan Ushul Fiqh

GLOBALISASI DAN BUDAYA KONSUMTIVISME  DALAM TILIKAN ILMU USHUL FIQH

Oleh: Ahmad Syafi’i SJ*

 

Abstract: global power has an impact on the lifestyle of the people, the lifestyle embodied by the modern consumer culture, promiscuity, hedonistic, and individualistic. The investors see the trend jelly society devoted to the modern consumerist lifestyle by establishing shopping centers (malls). “Magic box” called “Television” also contribute in shaping a society that “the economies of wants” instead of “the economic of need”. That is, people buy things not because of necessity, but because of the sheer desire. In fact, consumption in excess of need or already addressing cultural consumer behavior will turn into a serious illness in the economic, political and even socio-cultural environments. This article, trying to portray consumerism culture is eroding society joints, Indonesia in particular, as well as initiate a solution how to prepare for the future from the perspective of Islamic people to explore the theory of “level norm” on the one hand, and the theory of “mashlahah”(good interest) on the other side, in usul al-fiqh. Point core of this article is that Islamic law, with the tools of its usul fiqh, has offers a systematic way to prevent the onset of consumerism culture by providing guidelines in the form of Islamic norms, that is ethical behavior in consumption, consumption priorities, and guide the production. Signs can be used as a norm is considered ideal to be able to regulate human behavior and set a good social life.

Keywords: Globalisasi, Konsumtivisme, Ushul Fiqh, Mashlahah

 

PENDAHULUAN

Kekuatan global,  diakui atau tidak, benar-benar telah memberikan dampak pada pola hidup masyarakat, yaitu pola hidup modern yang diwujudkan dengan budaya konsumtif, pergaulan bebas, hedonistik, dan individualistik para pemodal/investor melihat dengan jeli kecenderungan masyarakat yang gandrung terhadap pola hidup modern yang konsumtif tersebut dengan mendirikan pusat-pusat perbelanjaan (mall). Mall bukan lagi hanya berfungsi sebagai tempat untuk bertransaksi, tetapi juga berfungsi akulturasi sehingga pusat-pusat perbelanjaan muncul sebagai tempat untuk belajar dan sebagai sumber nilai-nilai baru.[1]

Dalam dunia modern, gaya hidup selalu mendefinisikan sikap, niali-nilai, kelas dan stratifikasi sosial seseorang. Segalanya melulu dilihat tampak luar. Sebab, image yang ditampilkan atau citra yang direfleksikan selalu dianggap mendefinisikan eksistensi kita. Maka, pada saat ideologi gaya hidup semacam ini menjadi terasa lazim dan normal, imagologi bukan lagi suatu yang jauh dari sekedar wacana. Ia telah benar-benar berada di sekeliling kita, bahkan lebih dekat, menjadi suatu yang diam-diam kita anut.

Di sinilah embrio dari konsumtivisme tersebut terlahir, sebagai anak haram dari popularitas culture yang kian hegemonik dan industri gaya hidup yang mendidik masyarakat menjadi pesolek. Konsumtivisme terjadi saat konsumsi tidak lagi diterjemahkan sebagai semata-mata lalu lintas kebudayaan benda, dimana benda itu dinilai berdasarkan nilai dan fungsinya. Tetapi lebih memandang sebagai panggung sosial yang di dalamnya nilai-nilai diperebutkan, makna yang tersembunyi di balik sekedar nilai kebendaan dan perang posisi yang tak henti-henti.[2] Misalnya ketika seseorang hendak berbelanja, dia harus ke mall/ supermarket, padahal di pasar-pasar tradisional mereka lebih bebas dan lebih murah harganya. Ini karena ada sesuatu yang diinginkan diluar barang kebutuhannya, yakni “prestise”dan status “modernitas” dalam image-nya.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa  “kotak ajaib” yang bernama “Televisi” ikut andil dalam membentuk sebuah masyarakat yang “the economic of wants” bukan “the economic of need”. Maksudnya, orang membeli barang bukan karena faktor kebutuhan, tapi karena faktor keinginan semata. Sering terjadi, misalnya, seorang ibu yang pergi ke pasar ingin membeli “sapu”, sampai di rumah malah membawa “sepatu”, karena ia melihat di etalase toko dekat pen jual sapu, sepasang sepatu “merayu” untuk dibeli.

Kita menyadari bahwa secara bertahap namun pasti, otak kita telah dibentuk melalui iklan-iklan produk konsumtif, untuk seantiasa memikirkan bagaimana memperoleh barang tersebut. Tambahan lagi, tampilan iklan-pun diperlombakan. Pada saat pikiran telah terpatri pada keinginan memperoleh barang dimaksud, maka target usaha, kerja, bahkan hidup telah terfokus pada apa yang diinginkannya tersebut.

Jadi, fungsi dari sesuatu itu tidak lagi dijadikan tolak ukur lalu lintas kebudayaan benda, namun telah dipengaruhi oleh nilai-nilai yang lainnya, seperti gengsi, posisi ataupun yang lainnya maka secara sengaja atau tidak orang tersebut sudah terjangkit virus konsumtivisme. Dari fenomena ini maka akan terbesit dalam pikiran kita bagaimana hal ini bisa terjadi, siapa aktor intelektualnya dan bagaimana melepaskan diri dari paham yang sudah membudaya ini?

Dalam konteks ini, penulis mencoba memotret budaya konsumtivisme yang sedang menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat, Indonesia khususnya, serta menggagas solusi bagaimana mempersiapkan masa depan umat dari perspektif syariah dengan mengeksplorasi teori “pertingkatan norma” di satu sisi, dan teori “mashlahah” pada sisi yang lain, dalam ushûl al-fiqh. Kajian ini sesungguhnya lebih diarahkan kepada bagaimana mendayagunakan metode yang ditawarkan dalam ilmu ushûl al-fiqh untuk merumuskan asas-asas atau norma syariah guna merespons berbagai hal, dan di sini secara khusus dikaitkan dengan masalah budaya konsumtivieme atau prilaku konsumtif yang kini menjadi pokok perbincangan yang paling mengemuka.

 

MENGHADIRKAN USHUL FIQH SEBAGAI CARA PANDANG

Meskipun secara umum ushûl al-fiqh merupakan metode pengkajian Islam pada umumnya dan dalam sejarah kebudayaan Islam inilah satu-satunya metode khas Islam yang berkembang, namun dalam pengertian khusus, ushûl al-fiqh adalah suatu metode penemuan hukum syariah. Sebagai metode penemuan hukum, ushûl al-fiqh merupakan bagian dari metode penelitian hukum Islam secara umum. Penelitian hukum Islam secara keseluruhan dibedakan ke dalam dua bidang besar, yaitu penelitian hukum Islam deskriptif dan penelitian hukum Islam preskriptif. Penelitian hukum Islam deskriptif mencoba meneropong hukum Islam sebagai suatu fenomena sosial yang berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya. Sementara penelitian hukum Islam preskriptif bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermmasyarakat yang baik. Ushûl al-fiqh termasuk ke dalam bidang penelitian preskriptif, yang bertujuan menemukan norma-norma syariah untuk merespon berbagi permasalahan dari sudut pandang normatif.[3]

Beberapa ahli, sebagaimana dinyatakan Syamsul Anwar, berpendapat bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang (berlapis). Di zaman lampau pelapisan itu terdiri atas dua tingkat norma, yaitu peraturan hukum konkrit (al-ahkâm al-far’iyyah), dan asas-asas umum (al-ushûl al-kulliyyah). Asas-asas umum itu dalam pandangan para ahli hukum Islam klasik mencakup kategori yang luas sehingga meliputi pula nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asâsiyah) hukum Islam. Oleh karena itu, untuk praktisnya norma-norma tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) nilai-nilai dasar, (2) asas-asas umum, dan (3) peraturan konkrit[4].

Dalam penelitian hukum Islam, penggunaan ushûl al-fiqh sebagaimana banyak berlaku selama ini lebih banyak terarah kepada penelitian peraturan hukum konkret: bagaimana hukum kawin beda agama? Bagaimana hukum melakukan euthanasia? Dan seterusnya. Dengan kata lain, hukum Islam –dalam pandangan banyak orang- biasanya hanya dimaksudkan sebagai kumpulan peraturan konkret berupa halal, haram, makruh, mubah, atau sunat saja (al-ahkam al-khomsah). Bila disebut hukum Islam, yang terbayang oleh mereka hanyalah kategori-kategori tersebut. Menurut Syamsul, seharusnya penelitian hukum Islam juga diarahkan kepada penggalian asas-asas dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih mudah merespon berbagai perkembangan masyarakat dari sudut syariah[5].

Dalam kajian kali ini, masalah fenomena budaya konsumtivisme dalam perspektif hukum Islam akan dilihat dengan “teori pertingkatan norma” dan “mashlahah” dalam ushûl al-fiqh.

KONSUMTIVISME Vs KONSUMERISME: TERMINOLOGI YANG SERING DIRANCUKAN

Pengertian “konsumerisme” yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sama sekali berbeda dengan arti asli yang lazim diberikan kepada istilah tersebut. Menurut arti asli sebagaimana dijelaskan dalam kamus bahasa Inggris bahwa “consumerism is campaigning for the protection of consumers’interests”[6] (konsumerisme adalah gerakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan para konsumen). Definisi lain menegaskan bahwa konsumerisme adalah gerakan atau paham untuk melindungi para konsumen dari produk-produk yang merugikan mereka dan menuntut perlakuan adil bagi mereka dalam menghadapi pengusaha-pengusaha dan juga penguasa sehubungan dengan produk yang mereka lancarkan. Di Indonesia misalnya terdapat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang merupakan gerakan untuk menyerukan perlindungan bagi konsumen terhadap berbagai produk perusahaan dan pemerintah. Gerakan ini merupakan salah satu wujud nyata dari konsumerisme.[7]

Hanya saja dalam masyarakat Indonesia umumnya, konsumerisme dimaksudkan kepada pengertian lain menyangkut perilaku berkonsumsi, sehingga konsumerisme diartikan sebagai gaya hidup yang konsumtif, yaitu “semangat berbelanja berlebihan yang mengarah kepada pola hidup mewah” dengan membelanjakan uang untuk hal-hal yang melebihi kebutuhan yang wajar demi pemuasan keinginan yang imajiner.[8] Dengan kata lain, Konsumtif adalah keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.  Konsumen memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Jadi, apa yang dimaksud dengan konsumerisme dalam pengertian popular di masyarakat kita tidak lain adalah konsumtivisme. Dengan demikian dapat dilihat bahwa sementara dalam arti sebenarnya sasaran bidik wacana konsumerisme adalah prilaku produsen dalam kaitannya dengan hak-hak konsumen, sedangkan dalam pengertian populer di masyarakat sasaran bidik wacana konsumerisme adalah prilaku konsumen dalam kaitan dengan pola berbelanja yang konsumtif (konsumtivisme).

 

FENOMENA KONSUMTIVISME: SEBUAH REALITAS

Di tengah realitas kondisi ekonomi bangsa kita yang masih jauh di bawah Negara lain. Masyarakat kita malah semakin dikendalikan oleh budaya konsumtivisme. Besarnya peningkatan permintaan terhadap barang-barang teknologi seperti yang diberikatan di beberapa media sejak tahun-tahun lalu hingga sekarang, telah menunjukkan perilaku konsumtif bangsa Indonesia yang semakin memprihatinkan. Tiada hari tanpa belanja dan membeli. Bahkan sebagian dari mereka sudah ada yang mengidap penyakit “shopilimia”, suatu penyakit “kecanduan berbelanja”. Masyarakat kita pun akhirnya semakin sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Barangkali kita  pernah memperhatikan beberapa counter handphone yang selalu ramai saat hari-hari biasa dan membludak di hari libur. Survey membuktikan bahwa, banyak diantara kita yang mempunyai telepon seluler lebih dari satu. Keberadaan dua sampai tiga telepon seluler disaku bagi sebagian besar masyarakat kita saat ini tidak lagi menjadi sesuatu hal yang aneh, namun sudah lumrah. Apple, BlackBerry dan Htc merupakan segelintir brand yang menghiasi saku-saku banyak orang saat ini, tentunya dengan dibantu HP-HP lokal lainnya. Fakta ini, diperkuat oleh prilaku para remaja kita dan masyarakat, khususnya pada momen-momen khusus yang terjadi di sepanjang tahun, semisal hari raya keagamaan, seperti bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru.

Remaja dan Gaya Hidup Konsumtif

Remaja yang bergaya hidup konsumtif rela mengeluarkan uangnya hanya untuk jaga gengsi dalam pergaulan. Baik itu masalah  makanan dan minuman, pakaian, juga masalah hiburan (Food, Fashion, and Fun). Hal ini merupakan perwujudan dari gharizah al baqa (naluri mempertahankan diri). Setiap orang ingin dianggap eksis dalam lingkungan pergaulannya.  Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Saat remaja sedang gandrung dengan gaya hidup mewah, para pengusaha yang tak bertanggung jawab malah memberikan saluran untuk menampung gelegak nafsu konsumtif remaja. Produk-produk makanan, minuman, pakaian, sampai hiburan dikemas begitu rupa supaya remaja betah dan merasa nyaman dengan gaya hidup konsumtif yang selalu identik dengan kemewahan.

Konsumtivisme di Bulan Ramadhan

Menurut sejumlah cendekiawan, budaya konsumtif yang mewabah saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat[9].  Terlebih lagi pada momen-momen khusus  yang terjadi disepanjang tahun yang mendorong setiap individu untuk bertindak konsumtif. Hal ini awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap perlu, namun lama-kelamaan sifat konsumtif semakin besar sehingga individu cenderung membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Keinginan yang besarlah yang membuat mereka susah untuk menahan membelanjakan uang mereka untuk barang-barang tersebut. Terlebih lagi pada hari raya keagamaan, seperti bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru[10].

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, setiap tahun Indonesia pasti memperingati berbagai hari perayaan agama. Setiap perayaan mempunyai daya tarik tersendiri dan telah membentuk suatu budaya di Indonesia, khususnya untuk umat muslim. Begitu halnya juga dengan bulan Ramadhan yang merupakan bulan penting bagi umat Islam. Di bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Bulan yang hanya muncul satu kali dalam setiap tahun ini menjadi suatu kesempatan untuk para muslim memperbanyak amal ibadah mereka. Namun, di Indonesia sendiri terjadi sebuah kebudayaan yang terbentuk selama bulan Ramadhan, yaitu budaya konsumtivisme atau prilaku konsumtif.

Semakin tahun, budaya tersebut semakin berakar dan sulit dirubah. Padahal, esensi puasa di bulan Ramadhan itu sendiri adalah untuk melatih manusia agar hidup dengan lebih sederhana, menahan segala hawa nafsu dan dapat merasakan kesulitan dan kekurangan yang dirasakan oleh kaum yang lemah dari segi ekonomi. Budaya ini semakin menjadi-jadi ketika menjelang akhir Ramadhan mendekati Idul Fitri, dimana sebagian besar masyarakat Muslim berlomba-lomba membeli barang-barang baru untuk dipakai di hari raya tersebut. Budaya konsumtif selama Ramadan sampai lebaran ini sepertinya sudah mulai mengakar di masyarakat kita sehingga menjadi semacam permakluman publik. Esensi mulia Ramadhan itulah yang mulai dilupakan oleh kebanyakan umat Muslim Indonesia.  Anehnya, budaya ini hanya berkembang pesat di Indonesia, sedangkan di negara mayoritas Muslim lainnya tidak begitu terpengaruh.
DAMPAK PRILAKU KONSUMTIF

Konsumsi merupakan aktivitas manusia untuk membeli dan mengkonsumsi barang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kajian ilmu ekonomi konsumsi sebagai salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya konsumsi akan terjadi peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa sehingga para produsen akan menambah volume produksi. Namun konsumsi yang melebihi dari kebutuhan atau sudah mengarah pada budaya prilaku konsumtif akan berubah menjadi penyakit serius dalam kehidupan ekonomi maupun sosial bahkan linkungan[11].

Prilaku konsumtif adalah watak yang selalu ingin berbelanja untuk tujuan prestise di tunggangi oleh egoisme. Yaitu faham yang hanya mencari kepuasan pribadi dengan cara berfoya-foya yang sering mengabaikan tanggung jawab sosial dan dampak buruk bagi lingkungan. Ego merupakan ambisi untuk mengejar kepuasan nafsu yang tak berkecukupan. Akhirnya gaya hidup mewah dan konsumtif membuat seorang muslim tidak lagi peduli dengan halal atau haram dari produk yang dikonsumsinya yang akhirnya harus bertolak belakang dengan aturan Allah SWT.

Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai.  Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak halal. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi.

Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, politik, psikologis, sosial bahkan moral. Prioritas infaq berubah, sehingga banyak diantara kita yang berani mengeluarkan uang untuk membeli produk bermerek yang mahal harganya, karena kita sekaligus beli prestis. Tapi mereka merasa berat untuk menyumbang kegiatan ke-Islaman dan kikir jika untuk mendanai proyek-proyek amal. Selanjutnya dampak dari konsumtif adalah bahaya bercokolnya dalam hati manusia sifat hedonistik dan individualistik.

Selanjutnya, prilaku konsumtif juga bisa menjadi pemicu  terjadinya tindakan korupsi. Ansari Yamamah, pengamat politik dari IAIN Sumatra Utara misalnya, mengatakan bahwa prilaku konsumtif dan materialistik masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi telah “memaksa” terjadinya permainan uang (money politic) dan korupsi. Lebih jauh Ansari mengatakan, bahwa masyarakat sedang “sakit” akibat perilaku konsumtif sehingga selalu menetapkan standard materi terhadap calon pemimpin. [12] Perilaku itu dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang sering meminta dan “mengemis” sesuatu kepada setiap orang yang punya hajat, seperti dalam Pemilu.
Masyarakat tidak lagi memperhatikan latar belakang dan mempertanyakan program atau visi-misi calon pejabat yang bersangkutan sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan politiknya.Masyarakat lebih sering bertanya apa yang akan mereka dapatkan.[13]

Jadi,  kondisi masyarakat yang materialistik dan konsumtif demikian ini justru akan menjadi peluang bagi calon pejabat yang mental kotor tetapi memiliki persediaan materi banyak. Akhirnya orang bodohpun bisa menjadi pejabat asalkan mempunyai duit yang melimpah. Tambahan lagi, hampir tidak ada, untuk tidak menyatakan tidak ada sama sekali, partai politik yang sudi mengusung calon pejabat yang tidak memiliki materi yang banyak. Oleh karena terdorong untuk memuaskan “nafsu materialistik” dan “konsumtif” masyarakat dan parpol itu, seorang pejabat yang ingin bertarung dalam pemilu harus menyiapkan dana yang sangat besar yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Sebagai konsekuensi logisnya, maka tidak mengherankan jika pejabat yang bersangkutan harus melakukan berbagai cara, termasuk korupsi dan kolusi untuk mengembalikan “modalnya” kalau sudah mendapatkan jabatan.
GLOBALISASI DAN BUDAYA KONSUMTIVISME: PERSPEKTIF SYARIAH

Berbicara tentang budaya konsumtivisme, kita harus melihat dunia dalam mana kita sekarang hidup. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kita sekarang hidup dalam era globalisasi. Globalisasi, sebagaimana satu pendapat mengatakan, merupakan suatu tahap, tahap sekarang di dalam perkembangan kapitalisme yang kini mencapai puncak kematangannya dan ”yang tampaknya sekarang tidak ada alternatif lain yang mampu menandinginya.”[14] Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa globalisasi bukan hanya tahap sekarang dalam perkembangan kapitalisme, melainkan bagian integral dari perkembangan kapitalisme sejak kelahirannya. Dalam kaitannya dengan ini, Marx dan Engels menegaskan bahwa industri modern tidak saja menciptakan pasar dunia yang konstan, tetapi kebutuhan terhadap pasar yang terus meluas membuat kaum kapitalis berhamburan ke seantero permukaan bumi sehingga mereka harus berada di mana-mana, tinggal di mana-mana,membuat koneksi di mana-mana. Kapitalis melalui eksploitasinya terhadap pasar dunia telah memberikan karakter kosmopolitan terhadap produksi dan konsumsi di setiap negara.[15]

Jadi apapun globalisasi itu, ia sangat berkait berkelindan dengan kapitalisme.  Sistem kapitalisme menurut Arif Budiman, didasari oleh empat dasar pokok, yaitu: pertama, ajaran materialisme yang memacu orang untuk mengejar kekayaan materi yang kemudian menjadi ukuran dalam menilai orang. Kedua, filsafat individualisme yang mengharuskan orang memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri lebih dahulu. Ketiga, pengakuan terhadap hak milik mutlak atas kekayaan, yang memungkinkan orang untuk memperoleh kekayaan tanpa batas selama tidak melanggar hukum yang ada, dan tidak masalah manakala ada orang yang sangat kaya di tengah-tengah orang yang kelaparan. Keempat, adanya pasar bebas yang merupakan arena orang berkompetisi untuk mengumpulkan kekayaan.[16] Meskipun sistem ini telah mengantarkan beberapa negara di Eropa, Amerika Utara dan Timur Jauh (Korea, Jepang) menjadi negara maju dengan kekayaan melimpah dan teknologi tinggi,namun di pihak lain menimbulkan ketimpangan dalam tata dunia di mana negara-negara dunia ketiga yang miskin semakin tergantung kepada negara-negara maju. Selain itu sistem ini juga telah mengakibatkan penggusuran sumber daya yang menyebabkan terjadinya krisis lingkungan.

Ekspansi pasar sebagai bagian dari watak kapitalis mengharuskan penciptaan kondisi meningkatnya penjualan dan konsumsi melalui penggunaan instrumen iklan. Iklan dikatakan sebagai sarana yang memiliki kekuatan magic yang mampu menciptakan kebutuhan dan mempengaruhi prilaku konsumtif.[17] Ekspansi pasar dengan iklan sebagai ujung tombaknya mampu menciptakan mimpi-mimpi yang merasuk ke seluruh lapisan masyarakat sehingga konsumtivisme tidak hanya menjadi ciri masyarakat kelas menengah dan atas tetapi juga meluas ke masyarakat bawah. Padahal merebaknya prilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan daya kritis publik dan daya kritis konsumen sangat membahayakan posisi konsumen.[18]

Kondisi sebagaimana dijabarkan tersebut di atas, jelas-jelas merupakan tantangan bagi kita sebagai umat Islam. Dalam rangka menghadapi tantangan tersebut, salah satunya kita bisa mengacu kepada firman Allah SWT berikut:

يا أَيُّها  الَّذِ ينَ  آمَنُوا   اتَّقُوا  اللهَ   وَلْتَنْظُرْ   نَفْسٌ   مَا  قَدَّمَتْ   لِغَدٍ   واتَّقُوا  اللهَ   إِنَّ   اللهَ  خَبِيْرٌ   بِمَا  تَعْمَلُوْنَ   (الحشر :  ۱۸).

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendakklah setiap orang memperhatikan apa yang ia persiapkan untuk menghadapi hari esok, dan (sekali lagi) bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. [QS. 59: 18].

Jika kita lihat dari perspektif teori pertingkatan norma, maka nilai dasar (al-qiyam al-asâsiyah) dalam syariah Islam yang bisa kita petik dari ayat tersebut adalah “orientasi ke hari depan”. Dari konsep “orientasi ke hari depan” sebagai salah satu nilai dasar syariat Islam ini kemudian dapat diturunkan asas umum (al-ushûl al-kulliyyah) asas “visi strategis”  di dalam menghadapi era globalisasi. Visi adalah gambaran mengenai masa depan yang dikonseptualisasikan dan yang hendak diwujudkan. Oleh karenanya, Islam sangat menekankan pada umatnya agar mereka memperhatikan hari esok dan membuat perencanaan serta persiapan guna menyongsong hari depan. Mengacu pada ayat tersebut di atas, paling tidak persiapan yang harus kita lakukan dalam menghadapi era globalisasi ini yang dimotori oleh sistem kapitalisme adalah: pertama pengembangan sumber daya umat (manusia) melalui pendidikan untuk mengembangkan skill termasuk di dalamnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya penggalian asas-asas ajaran Islam guna memberikan respons terhadap perkembangan dunia yang sekarang sedang berlangsung seperti pengembangan pengkajian ilmu ekonomi Islam dan ilmu-ilmu lain untuk dapat memberi interpretasi yang tepat terhadap dunia yang kita hadapi. Kedua, menumbuhkan kesadaran umat terhadap situasi dunia saat ini dan tantangan yang sedang dihadapi.  Dalam konteks globalisasi yang merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalisme, salah satu dampak ekonomi pasar yang dihadapi dalam prilaku konsumsi adalah meningkatnya semangat konsumtivisme. Termasuk dalam peningkatan kesadaran masyarakat adalah peningkatan daya kritis terhadap produk dan kesadaran perilaku konsumsi yang sehat. Pendek kata, keseluruhan kutipan di atas menjelaskan keharusan adanya visi yang strategis dan jelas dalam hidup umat Islam terutama dalam menghadapi era globalisasi.

 

Norma Syari’ah tentang Etika dan Prilaku Konsumsi

Jika kita kaitkan dengan syariah, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah prinsip-prinsip syariah terkait dengan etika dan prilaku konsumsi (dan juga produksi)? Tidak ada suatu rumusan jadi dan baku mengenai hal ini. Namun dari berbagai pernyataan yang termaktub di dalam berbagai sumber syariah kita dapat mengkonstruk norma syariah tentang etika dan prilaku konsumsi serta produksi. Untuk itu kita dapat menelaah beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang memberi rambu-rambu tentang etika dan prilaku konsumsi sebagai berikut:

وَلاَ  تَجْعَلْ   يَدَكَ   مَغْلُوْ لَةً   إِلَى   عُنُقِكَ   وَلاَ  تَبْسُطْهَا   كُلَّ   الْبَسْطِ   فَتَقْعُدَ   مَلُوْماً   مَحْسُوْراً  ﴿الإ سراء: ۳۱﴾.

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu (kiasan terhadap sifat kikir) dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya seluas-luasnya (kiasan terhadap sifat boros dan konsumtif dalam berbelanja) yang menyebabkan engkau menjadi tercela lagi menyesal. [QS. 17: 29].

وَ كُلُوا  وَاشْرَبُوا   وَلاَ  تُسْرِفُوا  إنَّهُ   لاَ  يُحِبُّ   الْمُسْرِفِيْنَ ﴿ الأ عراف : ۳۱﴾

Dan makanlah dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. [Q.S. 7: 31]

وَالَّذِيْنَ   إِذاَ  أَنْفَقُوا   لَمْ  يُسْرِفُوا   وَلَمْ  يَقْتَرُوا  وَكانَ  بَيْنَ  ذَلِكَ  قَوَامًا ﴿ الفر قان: ٦٧﴾

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian . [Q.S. 25: 67].

 

 

مِنْ حُسْنِ  إِسْلاَمِ  الْمَرْءِ  تَرْكُهُ  مَالاَ يَعْنِيْهِ (رواه الترمذي وأحمد)

       Sebaik-baik Islam seseorang adalah bahwa ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. (HR. al-Tirmidzî, Ahmad)[19]

Mengacu pada beberapa ayat tersebut, kiranya kita dapat merumuskan beberapa etika konsumsi, yaitu: tidak boros, kesederhanaan, dan tidak kikir.[20] Sementara hadits di atas menegaskan nilai dasar syariah  (al-qiyam al-asâsiyah) mengenai “meninggalkan segala yang tidak bernilai guna”. Dari nilai dasar ini, kemudian dapat diderivasikan asas umum  (al-ushûl al-kulliyyah) berupa “asas efisiensi” dalam berbelanja atau berkonsumsi. Efisiensi merupakan kesesuaian hasil dari suatu proses dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang ada sebaik mungkin. Dengan kata lain efisiensi adalah keselarasan antara masukan dan pengeluaran. Dari asas ini kemudian dapat diderivasikan peraturan konkrit (al-ahkâm al-far’iyyah) bahwa haram hukumnya bersikap boros dan berfoya-foya dalam berbelanja.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas dan ayat-ayat lainnya, oleh para ulama dan ahli ekonomi Islam, telah dikembangkan kaidah-kaidah dan teori prilaku konsumen. Ajaran dan sekaligus teori prilaku konsumen tersebut didasarkan atas teori ushul fiqh mashlahat, yaitu perwujudan terhadap upaya perlindungan terhadap lima aspek penting dari kepentingan manusia (kulliyat al-khams).[21] Pertama, perlindungan atas agama/keyakinan (hifdz al-dîn). Kedua, perlindungan hidup untuk tumbuh dan berkembang secara layak serta keselamatan jiwa dari kesewenang-wenangan (hifdz al-nafs).  Ketiga, perlindungan terhadap keselamatan pengembangan dan pendayagunaan akal dalam berekspresi, mengeluarkan opini dan aktivitas ilmiah lainnya (hifdz al-‘aql), yang mana Islam memuliakan pengetahuan dan menentang pelanggaran terhadap akal sehat. Keempat, jaminan terhadap hak atas harta benda, properti dan lain-lain dari monopoli, korupsi, pencuri, oligopoli dan lain-lain (hifdz al-mâl). Dan kelima, perlindungan hak reproduksi atau memperoleh keturunan, yaitu jaminan akan masa depan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas (hifdz al-nasl). Menurut perspektif fiqih, acuan dasar dalam mewujudkan cita kemaslahatan itu minimal dengan tercukupi sekaligus terlindunginya lima hak dan jaminan dasar tersebut.

Kepentingan atau mashlahah tersebut, jika ditilik dari segi kepentingan dan tingkat kekuatan (real power) atau kualitas yang dimilikinya, bentuk mashlahah terbagi menjadi tiga macam, yaitu (1) Mashlahah dharûriyyah (keharusan atau keniscayaan), yaitu mashlahah yang bila divakumkan atau diabaikan akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, (2) mashlahah hâjiyyah (kebutuhan), yakni mashlahah yang dibutuhkan manusia untuk menciptakan kelapangan dan menghilangkan kesempitan hidup. Bentuk mashlahah ini bila diabikan maka akan berujung pada kesukaran (masyaqqah), meskipun tidak samapi pada batas kerusakan (mafsadah), dan (3) mashlahah tahsîniyyah (proses dekoratif-ornamental), yaitu kepentingan yang bersifat pelengkap (komplementer) untuk memperindah kehidupan dan meningkatkan kualitas kenikmatan. Oleh karenanya, apabila mashlahah ini tidak ada maka tidak akan merusak kehidupan, dan juga manusia tidak akan menemui kesulitan, namun bertentangan dengan akhlak yang mulia dan tabiat yang suci.

Dari ketiga jenis mashlahah tersebut, dlarûriyyah yang paling diutamakan karena ia merupakan tingkatan mashlahah yang palng kuat (aqwa al-marâtib), kemudian hâjiyyah, dan tahsîniyyah. Jadi komposisi ini memang harus urut secara hierarkis dan tidak boleh dibolak-balik.[22]

Tingkatan-tingkatan kepentingan ini secara normatif marupakan barometer dalam menentukan prioritas dalam berbelanja/berkonsumsi, dimulai dengan berbelanja untuk memenuhi kebutuhan yang termasuk dalam kategori primer (mashlahah dlarûriyyah), kemudian berbelanja guna memenuhi kebutuhan dalam kategori skunder (hâjiyyah) dan baru kemudian berbelanja untuk memenuhi kebutuhan dalam kategori tersier (tahsîniyyah). Dengan kata lain, bahwa dalam berkonsumsi kebutuhan (primer) harus diutamakan dari pada keinginan (skunder)), dan apalagi kemewahan (tersier). Secara teoritis tingkatan-tingkatan kepentingan/kebutuhan tersebut merupakan basis analisis atas prilaku konsumen dan juga panduan dalam berproduksi.

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

Dari elaborasi paparan yang panjang di atas, dapatlah kiranya ditarik poin-poin penting sebagai berikut:

1)   Budaya konsumtivisme yang mewabah saat ini tidak terlepas dari pengaru globalisasi dan perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. Masyarakat seakan-akan berlomba untuk menjadi manusia konsumtif.

2)   Mengakarnya budaya konsumtivisme ini tidak terlepas dari peran media massa. Iklan-iklan televisi, radio, media cetak termasuk iklan outdoor seakan-akan menghipnotis kita untuk masuk dan menjadi manusia konsumtif. Budaya konsumtivisme ini bukan saja memiliki dampak ekonomi, politik, psikologis, dan sosial, bahkan moral.

3)   Dalam rangka merespon era globalisasi, salah asas umum ajaran Islam yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh pribadi Muslim adalah asas visi strategis. Asas ini meniscayakan bahwa seorang Muslim harus senantiasa menunjukkan optimisme, idealisme, dan komitmen yang tinggi.

4)   Syariat Islam, dengan piranti ushul fiqh-nya, telah memberikan penawaran yang sistematis untuk mencegah timbulnya budaya konsumtivisme dengan memberikan rambu-rambu berupa norma-norma syariah, yaitu etika prilaku dalam berkonsumsi, sklala prioritas dalam berkonsumsi, dan panduan dalam berproduksi. Rambu-rambu tersebut bisa digunakan sebagai norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik.

Wallâhu A’lam bi al-Shawwâb!

 

DAFTAR RUJUKAN

 

‘Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, cet ke-5. Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1996.

Abû Hâmid al-Ghazzâlî, al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl. Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.

Arief Budiman, “Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern,” dalam Johanes Mardimin, (ed.), Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Masyarakat Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

At-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, hadîth No. 2317. Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Heru Nugroho, “Globalisasi, Perilaku Konsumtif, dan Konsumerisme,” dalam Th. Sumarthana (ed.), Reformasi Politik, Kebangkitan Agama dan Konsumerisme. Yogyakarta: Institut Dian/ Interfidei, 2000.

Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary. O!xford: Oxford University Press, 1989.

http://haluankepri.com/opini-/32626-esensi-ramadan-dan-budaya-konsumtif.html. Diakses pada tanggal 22 Nopember 2012.

 

http://dayyan77.blogspot.com/2011/06/komsumsi-dalam-perspektif-islam.html/, diakses pada tanggal 22 Nopember 2012.

 

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/15/95890-perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi, diakses pada tanggal22 November 2012.

 

Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Cakrawala, 2006.

———. “Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fikih pada Fakultas Syari’ah Tanggal 25-September. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh, “Globalization or the Coming-of-Age of Capitalism,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh (ed.), Globalization dan Social Change. London-New York: Routledge, 2000.

Padmo Wahjono. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa Datang,” dalam Amrullah (et.al., ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

 

 

 

 

 

 
 

 


* Adalah Dosen Fakultas Syari’ah INSURI Ponorogo dan Dosen Luar Biasa STAIN Ponorogo.

[3]Lihat Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan Perspektif Syari’ah dengan Pendekatan Ilmu Ushul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ushul Fikih pada Fakultas Syari’ah Tanggal 25-September (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005), 4. Lihat juga Idem, Metodologi Hukum Islam, Modul Kuliah Ushul Fiqh (Yogyakarta: UIN, 2006), 79. Bandingkan juga dengan Padmo Wahjono, “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa Datang,” dalam Amrullah (et.al., ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 175.

[4] Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai-nilai dasar agama Islam sendiri, karena hukum Islam berlandaskan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam al-Qur’an secara harfiah dan secara implisit banyak ditemukan nilai-nilai dasar hukum Islam. Misalnya, tauhid, keadilan, persamaan, kebebasan, kemashlahatan, persaudaraan, syura, tasamuh, dan lain sebagainya. Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan asas-asas umum hukum Islam dan dari asas umum lalu diderivasikan peraturan hukum konkret. Dengan kata lain, kita bisa menyatakan bahwa suatu peraturan hukum konkrit berlandaskan pada asas umum dan asas umum itu sendiri mengacu kepada nilai dasar. Sebagai contoh misalnya, Dari nilai persamaan dapat diturunkan asas dalam dunia peradilan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menjadi hakim. Dari asas ini kemudian diderivasikan peraturan hukum konkret bahwa mubah hukumnya perempuan menjadi akim. Dielaborasi dari Syamsul Anwar, Membangun Good Governance, 4.

[5] Ibid.

[6] Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1989), 252.

[7] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), 121-122.

[8] Ibid., 122.

[10] Lihat Ibid.

[12] Lihat Ansari Yamamah, “Prilaku Konsumtif Penyebab Korupsi”, dalam http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/12/15/95890-perilaku-konsumtif-penyebab-korupsi, diakses pada tanggal22 November 2012.

[13] Lihat Ibid.

[14] Lihat Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh, “Globalization or the Coming-of-Age of Capitalism,” dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh (ed.), Globalization dan Social Change (London-New York: Routledge, 2000), 1.

[15] David Harvey, “Globalization in Question”, dalam Johannes Dragsbaek Schmidt dan Jacques Hersh (ed.), Globalization…, 20. Lihat Juga Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam…, 123.

[16] Arief Budiman, “Konsumerisme dan Etos Kerja dalam Masyarakat Modern,” dalam Johanes Mardimin, (ed.), Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Masyarakat Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 95-96.

[17] Lihat Heru Nugroho, “Globalisasi, Perilaku Konsumtif, dan Konsumerisme,” dalam Th. Sumarthana (ed.), Reformasi Politik, Kebangkitan Agama dan Konsumerisme (Yogyakarta: Institut Dian/ Interfidei, 2000), 187.

[18] Ibid., 191.

[19] At-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, hadîth No. 2317 (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 555.

[20] Disarikan dari Pemikiran Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

[21] Informasi lebih lanjut bisa dibaca dalam Abû Hâmid al-Ghazzâlî, al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 174.

 

[22] ‘Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, cet ke-5 (Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1996), 3-82-383; juga al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, 174.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: