Integrasi keilmuan sejatinya tidak hanya menjadi mandat UIN, tetapi juga IAIN (level Institut) dan bahkan STAIN (level Sekolah Tinggi). Walaupun mandat tersebut tentu berbeda karena perbedaan skala luas bidang ilmu yang diajarkan. Namun mandat ini belum secara apik dimainkan oleh PTKI. Masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh PTKI selaras dengan tantangan zaman yang bergerak secara dinamis.
Begitulah kira-kira pembacaan secara umum dari Episode pertama (17-06-2020) The Multi-Module Webinar Pascasarjana IAIN Ponorogo dengan topik “Islam dan Sains: Wacana dan Praktik Integrasi Keilmuan di PTKI” yang menghadirkan Narasumber Prof. Dr. H. Machasin, M.Ag. (UIN Sunan Kalijaga) dan Prof. Dr. H. Abdul A’la, M. Ag. (UIN Sunan Ampel) dengan Pemantik Diskusi Dr. Aksin Wijaya.
Secara teoritis, hubungan antara agama dan sains ditipologikan menjadi empat: konflik, independen, dialog, dan integrasi. Dalam konteks integrasi, agama dan sains dinilai mempunyai validitasnya masing-masing yang tidak semestinya dipertentangkan, tetapi justru diintegrasikan.
Pemahaman umat Islam tentang sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan atau sebaliknya. Abdul A’la dalam paparannya menunjukkan bagaimana proyek nalar relasi agama dan sains ini begitu penting. Sejarah relasi konflik keduanya sungguh telah mengancam peradaban manusia sebagaimana ditunjukkan utamanya pada masa “kegelapan Barat”.
Sungguh pun sejarah telah secara gamblang mengajarkan bagaimana kebijaksanaan relasi agama dan sains dibangun, tetapi pada kenyataannya relasi kedua terus mengalami fluktuasi. Tren kontemporer menguatnya puritanisme keagamaan seakan menjadi flash back sejarah gelap relasi agama dan sains. Nalar dikotomis agama dan sains sering dipertontonkan di berbagai media digital.
Pertanyaan yang menggelitik dari Prof. Machasin adalah “Dimanakah PTKI yang telah 20 tahun mewacanakan dan mempraktikkan integrasi keilmuan? Mengapa belum muncul pemikiran keagamaan integratif yang fresh dari PTKI? Mengapa pemikiran-pemikiran pembaharuan masih sering ditanggapi secara sinis? Mengapa otoritas keagamaan di tingkat masyarakat tidak dipegang oleh PTKI?
Wacana dan Praktik
Setiap tindakan dan praktik bermula dari wacana. Wacana filosofis tentang integrasi keilmuan telah menggema utamanya dari institusi universitas Islam di Indonesia. Filosofi integrasi kemudian dikemas dalam konsepsi paradigmatis: integratif-interkonektif (UIN Sunan Kalijaga), integrasi roda ilmu (UIN Sunan Gunung Jati), integrasi pohon ilmu (UIN Maliki), integrated twin tower (UIN Sunan Ampel). Kerangka filosofis ini telah diterjemahkan dalam teknis tridharma, utamanya visi, misi, dan strategi pendidikan-pengajaran, penelitian dan pengabdian.
Abdul A’la misalnya mencontohkan di antara misi UIN Sunan Ampel adalah “menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu keislaman multidisipliner serta sains dan teknologi yang unggul dan berdaya saing”. Misi ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk: pertama, penguatan ilmu-ilmu keislaman murni tapi langka; kedua, integrasi keilmuan Islam pengembangan dengan keilmuan sosial-humaniora; ketiga, pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan Islam.
Prinsip yang mendasari ini semua adalah islamisasi nalar, bukan islamisasi pengetahuan. Strategi yang dilakukan adalah di antaranya dengan pengasramaan mahasiswa tingkat awal dan spiritualisasi sains dan ilmu sosial-humaniora.
Paradigma keilmuan dan penterjemahannya dalam kebijakan akademik telah dilakukan. Tetapi praktik di lapangan, tegas Abdul A’la, belum sesuai dengan tujuan transformasi kelembagaan dan keilmuan – sejak dari paradigma hingga penyelenggaraan perkuliahan.
Menurut Abdul A’la perlu data yang bisa dipertanggungjawabkan bagaimana kebijakan akademik tentang integrasi keilmuan berdampak pada lulusan. Ini akan menjadi bahan evaluasi penataan organisasi dan redesign kurikulum yang akan terus dilakukan untuk mencapai tujuan transformasi.
Abdul A’la mencatat beberapa kendala pencapaian tujuan integrasi di antaranya adalah: pertama, tidak semua civitas akademika memahami secara utuh dan tepat visi hingga kurikulum pembelajaran; kedua, fenomena pragmatisme beberapa kalangan civitas akademik; ketiga, implementasi kebijakan integrasi yang belum dikawal secara intens dan utuh.
Integrasi Internal dan Lintas Keilmuan
Apa yang disampaikan oleh Abdul A’la tentu bisa menjadi pembelajaran bagi PTKI. Bagi PTKI yang telah bertransformasi menjadi UIN, integrasi keilmuan adalah tuntutan yang proses-prosesnya terus berjalan. Bagaimana dengan Sekolah Tinggi Agama Islam dan Institut Agama Islam? Persoalan integrasi keilmuan sesungguhnya bukan hanya milik Universitas Islam.
Alasannya, pertama kajian keislaman tidak bisa dilakukan secara normatif. Pendekatan yang bersifat interdisipliner terhadap kajian keislaman menjadi tuntutan. Kedua, pada kenyataannya tidak jarang Sekolah Tinggi ataupun Institut Agama Islam menyelenggarakan prodi keilmuan umum (misalnya tadris IPA/Biologi, IPS, dan lainnya). Sementara ironisnya, kebanyakan dari PTKI belum mempunyai kebijakan paradigmatis integrasi keilmuan. Pada akhirnya, praktik integrasi menjadi bersifat individual dan menyesuaikan dengan selera dosen atau pengelola program studi.
Machasin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, memberi catatan menarik praktik integrasi keilmuan. Menurutnya, yang menjadi problem integrasi bukan hanya pada tataran lintas keilmuan, pada level integrasi internal keilmuan Islam saja masih menjadi problem besar. Barang kali jika konsen utama level Universitas Islam adalah integrasi lintas keilmuan, maka konsen utama Sekolah Tinggi dan Institut adalah integrasi internal keilmuan Islam. Ini tentu tidak bermaksud mendikotomisasi, tetapi hanya pada tekanan dan intensitas tanggung jawab keilmuan.
Ilustrasi mudahnya adalah sebagai berikut: al-Qur’an dan Hadis adalah dasar keilmuan dan diajarkan di berbagai Fakultas dan Program Studi. Dari keduanya lahir beragam keilmuan. Di antara, Fikih yang merepresentasikan keilmuan Islam yang paling mudah untuk diukur karena menyangkut perilaku lahiriyah; Sejarah Peradaban Islam yang merepresentasi kajian terhadap proses pembentukan peradaban Islam, dan seterusnya. Menurut Machasin ilmu-ilmu keislaman ini lebih banyak membebani kurikulum dari pada memberikan nilai lebih sebuah Program Studi.
Mengapa membebani? Menurut Machasin, ilmu-ilmu keislaman sebagai pengaya lebih banyak diberikan secara mentah. Mengapa disebut sebagai ilmu pengaya? Karena setiap Program Studi mempunyai spesialisasi dan konsen kajian masing-masing.
Program Studi kesyariahan misalnya, konsennya tentu hukum Islam, tetapi diajarkan dalam Program Studi ini Ilmu Sejarah Peradaban Islam, Filsafat Islam, dan seterusnya sebagai pengaya. Mengapa lebih banyak diberikan secara mentah? Karena ilmu-ilmu pengaya ini tidak diajarkan sebagai kerangka yang bisa dijadikan sebagai pendekatan terhadap bidang utama kajian.
Barang kali indikator mudah untuk menangkap realitas di atas adalah pada tugas akhir mahasiswa (skripsi/tesis). Di antara indikatornya adalah, pertama: kurang variatifnya pendekatan/obyek formal kajian dan cenderung bersifat normatif. Kedua, jika pendekatan internal keilmuan dipakai masih bersifat formal, yakni tidak/kurang operasional dalam penelitian.
Berdasar paparan di atas, persoalan integrasi keilmuan menjadi PR besar tidak saja bagi Universita Islam, tetapi juga bagi Institut dan Sekolah Tinggi Islam. PR tidak saja terkait integrasi lintas keilmuan, tetapi juga internal keilmuan Islam dengan tetap berpegang teguh pada spirit keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Wallah A’lam. (Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo).
Sumber: https://pasca.iainponorogo.ac.id/blog/2020/06/20/1288/
Discover more from Akademika
Subscribe to get the latest posts sent to your email.