Agama, pada hakikatnya, hadir sebagai rahmat bagi semesta alam. Nilai-nilai kasih sayang, kedamaian, dan keadilan yang diajarkan oleh agama semestinya menjadi landasan hidup dalam bermasyarakat. Namun, kenyataan di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Agama justru dijadikan pembenaran untuk tindakan kekerasan, konflik, bahkan pembunuhan.
Kasus-kasus kekerasan atas nama agama atau kekerasan verbal di media sosial sering kali mencerminkan bagaimana ajaran agama diselewengkan menjadi alat untuk menciptakan ketakutan dan kebencian. Padahal, ajaran dasar agama Islam menekankan pentingnya menjunjung tinggi kemaslahatan dan menjaga perdamaian di antara manusia.
Nalar kekerasan yang mengatasnamakan agama sering kali berakar pada penafsiran teks-teks agama secara sempit dan kaku. Kelompok-kelompok tertentu menciptakan polarisasi antara “kita” dan “mereka” melalui kategori-kategori biner seperti halal-haram, benar-salah, dan iman-kafir.
Nalar oposisi biner ini memperkuat sikap eksklusif yang mengabaikan kompleksitas kehidupan manusia. Padahal, realitas sosial kita tidak sesederhana itu. Dalam dunia yang penuh keragaman, pendekatan yang memecah belah hanya akan menambah luka dan memperdalam jurang perbedaan.
Dalam konteks kontemporer, kita perlu mengembalikan agama pada esensi awalnya: rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Artinya, agama harus menjadi sumber inspirasi untuk kemaslahatan umat manusia, bukan sekadar pembenaran untuk mengukuhkan kekuasaan atau menyingkirkan yang berbeda.
Pendekatan teosentrisme yang menempatkan Tuhan sebagai pusat sering kali perlu dilengkapi dengan antroposentrisme yang berfokus pada kemaslahatan manusia. Dengan demikian, agama dapat menjadi jembatan untuk membangun perdamaian, solidaritas, dan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Meretas nalar kekerasan berarti menekankan sisi kasih sayang, empati, dan kemanusiaan dari ajaran agama. Ini tidak berarti kita menegasikan peran Tuhan, tetapi justru menempatkan Tuhan dan manusia dalam keseimbangan yang harmonis.
Agama harus bisa merespons tantangan zaman dengan menghadirkan solusi yang inklusif, berorientasi pada kemaslahatan, dan menghindari polarisasi destruktif. Dengan demikian, agama tidak lagi menjadi titik sumbu konflik, melainkan pilar perdamaian yang kokoh di tengah masyarakat global. (Subtansi dari Resensi Penulis terhadap Buku “Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia”, Karya Aksin Wijaya, Terbit di Koran Sindo, 2018).
Discover more from Akademika
Subscribe to get the latest posts sent to your email.