Etika dan Dimensi Publik Agama

Hans Küng, teolog ternama asal Swiss, menawarkan perspektif menarik tentang agama dalam konteks modern. Ia memandang agama sebagai entitas yang terpilah menjadi dua dimensi utama: subyektif dan obyektif. Agama dalam ranah subyektif adalah pengalaman pribadi yang sangat individual, mencakup keyakinan, praktik spiritual, dan hubungan individu dengan Tuhan. Di sisi lain, agama dalam ranah obyektif beroperasi di wilayah publik. Agama tidak hanya menjadi soal pribadi, tetapi juga fenomena sosiologis yang mempengaruhi interaksi antarindividu dan kelompok dalam masyarakat luas.

Ketika agama masuk ke dalam wilayah obyektif dan publik, ia tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan sosial dan politik. Dalam ruang publik, agama menjadi bagian dari identitas kolektif yang berperan dalam membentuk norma, etika, dan aturan sosial. Küng berpendapat bahwa interaksi sosial ini membutuhkan landasan etika yang jelas, terutama dalam masyarakat yang semakin plural dan kompleks. Di sinilah Küng mengemukakan gagasan “etika global” atau global ethic, sebuah kerangka etika yang mampu menjembatani perbedaan keyakinan dan budaya di tengah dunia yang terus berubah.

Etika global ini sangat diperlukan, terutama karena masyarakat modern terlibat dalam interaksi yang intens dan saling berhubungan satu sama lain. Hans Küng menegaskan bahwa kita memerlukan panduan etis yang dapat mengatasi batas-batas agama dan budaya. Ia percaya bahwa meskipun agama-agama memiliki perbedaan dalam ajaran, nilai-nilai fundamental seperti keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik temu yang dapat disepakati oleh semua agama. Dengan kata lain, etika global berfungsi sebagai fondasi bagi kerukunan dan harmoni di tengah keragaman agama dan budaya dunia.

Namun, Küng tidak hanya berhenti pada persoalan etika. Ia juga menekankan perlunya sebuah paradigma teologis yang mampu menjawab tantangan dunia kontemporer. Teologi, dalam pandangan Küng, harus mengakomodasi dua dimensi: dimensi spiritual yang berkaitan dengan kebijaksanaan batin, serta dimensi empirik yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah dan praktis. Dengan memadukan keduanya, teologi dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan bijaksana.

Hans Küng percaya bahwa berteologi tidak hanya soal berbicara tentang Tuhan atau ajaran agama, tetapi juga tentang bagaimana agama dapat berkontribusi pada kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Teologi harus dapat menjawab persoalan-persoalan nyata dalam kehidupan publik, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan krisis lingkungan. Teologi yang murni spekulatif, tanpa aplikasi praktis, dianggap tidak relevan bagi Küng dalam dunia yang membutuhkan solusi nyata atas berbagai tantangan.

Last but not least, Hans Küng menekankan bahwa teologi yang efektif di era globalisasi harus bersifat polisentris, yakni mampu menghargai dan mengakomodasi keberagaman pandangan teologis dari berbagai tradisi agama. Dunia modern adalah dunia yang plural, di mana pusat-pusat kekuatan budaya dan agama tersebar di berbagai belahan bumi. Teologi yang relevan bagi masyarakat global harus mampu berdialog secara konstruktif dengan berbagai tradisi keagamaan, serta berkontribusi pada penciptaan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.(Serpihan catatan dari gagasan Hans Kung, 31 Juli 2020).

Bagikan ke:

Discover more from Akademika

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *