Pengembangan Paradigma Hukum Islam

Paradigma adalah kerangka pemikiran atau model konseptual yang mendasari cara kita memahami dan menafsirkan berbagai fenomena. Dalam konteks hukum Islam, paradigma mencerminkan bagaimana norma-norma hukum Islam dipahami, dirumuskan, dan diterapkan. Perubahan paradigma terjadi ketika pemahaman tentang prinsip-prinsip hukum, metode ijtihad, dan penafsiran sumber-sumber hukum Islam—yakni Al-Qur’an dan Hadis—mengalami pembaruan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Pengembangan paradigma hukum Islam adalah sebuah kebutuhan yang mendesak dalam era modern ini. Pemikiran hukum Islam yang statis dan tidak adaptif berisiko tertinggal oleh dinamika sosial, politik, dan budaya yang terus berubah. Oleh karena itu, penting bagi Sarjana hukum Islam untuk memperbarui paradigma yang digunakan dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan hukum Islam agar tetap relevan dan responsif terhadap tantangan kontemporer.

Ibaratkan paradigma adalah napas, ia menghidupi setiap aturan, memberikan nyawa pada setiap derivasi hukum. Napas ini tak boleh menjadi sesak dalam lingkaran pemikiran yang kaku, dalam ruang sempit yang tak mengenal perubahan. Ia harus lentur, membuka diri pada ruang dan waktu, pada realitas umat yang terus bergerak. Paradigma yang statis, yang beku dalam tempurung masa lalu, akan kehilangan maknanya. Ia tidak lagi mampu mengarungi derasnya arus perubahan. Di sini lah pentingnya memperbarui paradigma.

Paradigma Teoantroposentris

Paradigma dalam hukum Islam berfungsi sebagai kerangka berpikir yang memengaruhi cara pandang terhadap penafsiran teks-teks suci dan aplikasinya dalam kehidupan sosial yang kompleks. Paradigma ini menentukan bagaimana hukum Islam merespons isu-isu kontemporer, seperti hak-hak perempuan, keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia. Dengan paradigma yang tepat, hukum Islam dapat diinterpretasikan secara lebih adaptif dan relevan terhadap kebutuhan zaman, tanpa kehilangan esensi spiritual dan moral yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Paradigma teoantroposentris, misalnya, menawarkan pendekatan yang menempatkan Tuhan dan manusia sebagai pusat. Dalam paradigma ini, Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, namun manusia berperan sebagai khalifah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan nilai-nilai ketuhanan di dunia. Pendekatan ini tidak hanya menekankan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga melibatkan tanggung jawab manusia dalam menjaga keadilan sosial, hak asasi manusia, serta keseimbangan dalam masyarakat. Paradigma teoantroposentris memungkinkan penerapan hukum Islam yang lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan modern, menggabungkan nilai-nilai teologis dan humanis dalam satu kerangka yang komprehensif.

Paradigma teoantroposentris tidak lagi terkungkung dalam pendekatan tradisional yang bersifat tekstual atau hukum semata, tetapi merambah ke pendekatan interdisipliner dan empirik. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan untuk melihat hukum Islam tidak hanya dari perspektif normatif atau dogmatis, tetapi juga melalui berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi.

Pendekatan interdisipliner memungkinkan hukum Islam untuk lebih adaptif dan responsif terhadap kompleksitas kehidupan sosial modern, karena berbagai aspek kehidupan manusia—termasuk aspek emosional, budaya, dan struktural—ikut dipertimbangkan dalam proses ijtihad dan penafsiran hukum. Dengan demikian, paradigma ini mampu menyentuh dimensi yang lebih luas dalam menciptakan hukum yang tidak hanya sesuai dengan nilai-nilai ilahi, tetapi juga relevan bagi manusia dan konteks sosial mereka.

Paradigma teoantroposentris ini mengandung beberapa prinsip penting yang relevan untuk pengembangan hukum Islam:
1) Keseimbangan antara nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan: Hukum Islam tidak hanya bertujuan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi juga untuk menjaga hak-hak manusia dan menciptakan keadilan sosial. Dalam konteks ini, ijtihad harus dilakukan dengan mempertimbangkan kedua aspek ini secara seimbang.

2) Tanggung Jawab Sosial dalam Hukum Islam: Paradigma ini menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk mewujudkan keadilan di muka bumi. Hukum Islam harus diorientasikan pada upaya untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh umat manusia, bukan hanya sebatas pemenuhan ritual keagamaan.

3) Kesadaran Kontekstual: Paradigma teoantroposentris mengharuskan penerapan hukum Islam yang kontekstual, yakni mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang melingkupi umat Islam di suatu tempat dan waktu. Ini berarti, ijtihad yang dihasilkan tidak boleh terlepas dari realitas sosial masyarakat di mana hukum tersebut akan diterapkan.

4) Kemanusiaan yang Universal: Hukum Islam dalam paradigma teoantroposentrisme juga harus mengakui adanya nilai-nilai kemanusiaan universal yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Ini mencakup hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.

Pengembangan Paradigma Hukum Islam

Untuk melihat bagaimana paradigma teoantroposentris dapat diterapkan dalam hukum Islam, kita bisa mengambil contoh dari hukum keluarga Islam, khususnya dalam masalah pernikahan dan perceraian. Hukum keluarga Islam adalah salah satu area di mana banyak terjadi perdebatan terkait penerapan norma-norma agama dalam kehidupan modern.

1) Pernikahan dan Kesetaraan Gender:
Dalam pandangan tradisional, hukum Islam sering kali menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tidak seimbang dalam konteks pernikahan. Misalnya, suami sering dianggap memiliki otoritas yang lebih besar dibandingkan istri, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam hak-hak ekonomi. Namun, melalui paradigma teoantroposentris, pernikahan dipandang sebagai kemitraan antara dua individu yang sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat.

Paradigma ini menekankan bahwa pernikahan bukan hanya kontrak legal antara dua individu, tetapi juga perwujudan tanggung jawab moral untuk menciptakan keluarga yang adil dan harmonis. Oleh karena itu, hak dan kewajiban suami-istri harus dirumuskan berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan, bukan semata-mata berdasarkan perbedaan gender. Misalnya, baik suami maupun istri harus memiliki hak yang setara dalam hal pengambilan keputusan, termasuk dalam hal perceraian dan hak asuh anak.

2) Perceraian dan Keadilan Sosial:
Perceraian adalah isu yang sensitif dalam hukum keluarga Islam. Dalam beberapa sistem hukum Islam tradisional, hak untuk menceraikan (talak) sering kali berada di tangan suami, sementara istri memiliki akses yang terbatas untuk mengakhiri pernikahan. Namun, melalui paradigma teoantroposentris, hukum perceraian harus dilihat dari perspektif keadilan sosial, di mana hak-hak kedua belah pihak, termasuk perempuan, harus dilindungi.

Perceraian, dalam konteks ini, tidak hanya dilihat sebagai hak unilateral suami, tetapi sebagai mekanisme untuk mencapai kesejahteraan bagi kedua belah pihak. Jika pernikahan tidak lagi dapat mendatangkan kebaikan dan malah menimbulkan ketidakadilan atau penderitaan, maka perceraian dapat menjadi solusi yang sah, dan perempuan harus memiliki akses yang setara untuk meminta perceraian. Ini bisa diimplementasikan dengan memberikan perempuan hak untuk mengajukan khulu’ (gugatan cerai dari istri) dengan lebih mudah, tanpa hambatan birokratis yang berlebihan.

3) Hak Asuh Anak Pasca Perceraian:
Dalam banyak masyarakat Muslim, hak asuh anak sering kali diberikan kepada ayah setelah perceraian, meskipun ibu adalah orang yang lebih berperan dalam pengasuhan anak sehari-hari. Paradigma teoantroposentris akan melihat hak asuh anak sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, bukan semata-mata berdasarkan jenis kelamin orang tua.

***

Hukum Islam yang dikembangkan dalam kerangka teoantroposentris akan menekankan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan terbaik dari orang tua yang mampu memberikan cinta, perhatian, dan kebutuhan material serta spiritual. Oleh karena itu, keputusan terkait hak asuh harus didasarkan pada evaluasi objektif terhadap kemampuan kedua orang tua, bukan pada preferensi gender atau aturan-aturan yang tidak lagi relevan dengan kondisi sosial saat ini.

Paradigma teoantroposentris memberikan landasan yang kuat untuk pengembangan hukum Islam yang lebih adaptif dan kontekstual. Dengan mengedepankan keseimbangan antara nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, hukum Islam dapat menjadi lebih inklusif, relevan, dan mampu menjawab tantangan zaman. Dalam konteks hukum keluarga, paradigma ini membuka jalan bagi terciptanya norma-norma hukum yang lebih adil, khususnya dalam hal kesetaraan gender, hak perceraian, dan hak asuh anak, yang semuanya didasarkan pada prinsip keadilan sosial yang diajarkan oleh Islam.

Kini, tugas kita adalah mengimplementasi paradigma ini. Menemukan lebih banyak celah di mana hukum Islam dapat menjadi sumber kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Di setiap pintu rumah tangga, di setiap palu pengadilan, kita tiupkan api kecil dari paradigma ini, untuk menerangi masa depan yang lebih adil dan penuh kasih.

Bagikan ke:

Discover more from Akademika

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *