Demistifikasi penalaran hukum Islam sangat penting dilakukan untuk mengembalikan esensi hukum yang rasional dan kontekstual. Artikel ini menggunakan perspektif ilmu sosial profetik Kuntowijoyo untuk menjelaskan urgensi demistifikasi hukum Islam, yang selama ini terjebak dalam berbagai bentuk mistifikasi. Mistifikasi bisa dimaknai sebagai cara pandang yang memisahkan hukum Islam dari realitas sosial, penalaran kritis, dan aspek moralitas. Mistifikasi ini mengakibatkan hukum Islam kehilangan konteks kehidupan kontemporer.
Dalam konsep ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo mengajukan paradigma teoantroposentris, yang menekankan pentingnya menghubungkan agama dengan realitas kehidupan manusia. Teoantroposentrisme mengatasi pemisahan antara agama dan kehidupan sosial dengan merefleksikan ajaran agama ke dalam konteks yang lebih membumi. Oleh karena itu, demistifikasi adalah langkah awal untuk merekonstruksi pemahaman hukum Islam agar lebih sesuai dengan realitas zaman, tanpa menafikan prinsip/nilai dasar yang terkandung di dalamnya.
Mistifikasi dalam Hukum Islam: Mistik Etis, Penalaran, dan Kenyataan
Selama ini, umat Islam cenderung melakukan mistifikasi hukum Islam dalam tiga bidang utama: mistik etis, mistik penalaran, dan mistik kenyataan. Masing-masing mistifikasi ini membuat hukum Islam menjadi terasing dari konteks sosial, penalaran kritis, dan dinamika kehidupan kontemporer.
1. Mistik Etis
Mistik etis terjadi ketika nilai-nilai moral dalam hukum Islam dipahami secara sempit dan mengabaikan dinamika sosial yang lebih luas. Contoh nyata mistik etis adalah pandangan bahwa setiap tindakan sudah ditentukan oleh Tuhan secara mutlak, sehingga manusia tidak memiliki ruang untuk mengambil tanggung jawab moral secara aktif.
Misalnya, dalam banyak kasus, masalah keadilan gender dan hak-hak perempuan sering kali disandarkan pada interpretasi teks-teks agama yang sangat literal. Akibatnya, hukum dianggap sebagai sistem ketentuan yang harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang lebih adil dan manusiawi. Pandangan fatalistik ini membuat hukum Islam terjebak dalam pola pikir normatif yang kaku, dan mengabaikan subtansi etis yang inklusif dan progresif.
2. Mistik Penalaran
Mistik penalaran adalah hilangnya peran nalar kritis dalam memahami hukum Islam. Sebagai contoh, dalam banyak tradisi puritan, pendekatan filosofis dan rasional terhadap hukum dianggap sebagai bentuk bid’ah atau penyimpangan. Mereka menolak upaya penafsiran yang melibatkan akal dan logika, dan lebih memilih pendekatan literal yang seringkali tidak relevan dengan konteks kontempporer.
Sebagai ilustrasi, isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kebebasan berekspresi tidak mendapat tempat dalam diskursus hukum Islam yang normatif-literal. Kelompok puritan cenderung mengisolasi hukum dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, sehingga hukum Islam terpisah dari konteks ilmiah dan sosial yang lebih luas.
3. Mistik Kenyataan
Mistik kenyataan dalam bidang hukum keluarga muncul ketika hukum Islam tidak berhubungan dengan realitas. Ia diterapkan secara harfiah tanpa memperhatikan kenyataan sosial yang kompleks.
Sebagai contoh, hukum Islam tradisional tentang perceraian sering kali hanya berfokus pada prosedur talak, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial seperti hak perempuan, kesejahteraan anak, dan dampak psikologis. Dalam beberapa kasus, talak dijatuhkan secara sepihak oleh suami tanpa proses mediasi atau pertimbangan yang lebih adil, sehingga mengabaikan prinsip keadilan yang sebenarnya menjadi inti dari hukum Islam.
Demistifikasi Teologis
Langkah pertama dalam demistifikasi hukum Islam adalah melalui demistifikasi teologis, yaitu upaya untuk membongkar cara pandang teologis yang tidak membumi. Pemahaman teologis yang berkembang selama ini cenderung terlalu metafisik dan abstrak, sehingga tidak menyentuh persoalan sosial yang nyata. Teologi dalam Islam sering kali hanya dipahami sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tanpa memperhatikan tanggung jawab manusia terhadap sesama.
Demistifikasi teologis adalah upaya untuk merekonstruksi pemahaman ketuhanan dalam kaitannya dengan isu-isu sosial. Jika selama ini persepsi ketuhanan hanya dipahami dalam kerangka normatif-harfiah, demistifikasi teologis mengajarkan bahwa perspektif kita tentang Tuhan juga mencakup tanggung jawab sosial, seperti keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Misalnya, konsep amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah keburukan) tidak hanya diterapkan dalam konteks ritual keagamaan, tetapi juga dalam konteks pemberantasan kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Ini adalah contoh nyata bagaimana demistifikasi teologis membawa ajaran agama dari wilayah yang abstrak ke dalam ranah yang lebih praktis dan sosial.
Demistifikasi teologis berupaya merekonstruksi teologi agar lebih kontekstual, menyentuh realitas sosial, dan tidak hanya berbicara tentang Tuhan dalam pengertian metafisik yang abstrak. Demistifikasi teologis mencakup beberapa langkah penting: (1) Kembali kepada sumber (back to resources) tidak hanya berarti menggali teks-teks suci, tetapi memahami makna yang lebih mendalam dengan mempertimbangkan kondisi zaman. (2) Keterlibatan dengan situasi kontemporer sangat penting. Teologi yang tidak membumi akan membuat hukum Islam statis. Karena itu, keterlibatan dengan realitas sosial dan dinamika kehidupan modern harus menjadi landasan dalam pengembangan hukum.
(3) Pemikiran kreatif diperlukan untuk mencari jawaban-jawaban baru atas persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini. Pemikiran yang stagnan akan membelenggu agama dalam kerangka formalistik yang sempit. (4) Refleksi dan pembaruan diri (self-understanding and self-renewal) menuntut adanya pemahaman teologis yang selalu diperbaharui sesuai dengan konteks zaman. (5) Diseminasi pemikiran teologis yang baru harus dilakukan secara meluas agar mampu mempengaruhi wacana publik dan menghasilkan perubahan nyata dalam cara pandang umat terhadap hukum Islam.
Sebuah contoh konkret demistifikasi teologis dapat dilihat dalam penerapan konsep zakat dalam konteks modern. Zakat yang awalnya hanya dipahami sebagai kewajiban individual untuk membantu fakir miskin, dapat didemistifikasi menjadi sistem distribusi ekonomi yang lebih luas, seperti zakat produktif yang dikelola untuk memberdayakan kaum miskin secara ekonomi. Ini adalah upaya untuk membawa ajaran tradisional ke dalam konteks sosial-ekonomi modern, menjadikannya alat pemberdayaan yang nyata bagi masyarakat.
Demistifikasi Teoritik: Penafsiran Sintetik-Analitik
Langkah kedua dalam proses demistifikasi adalah melalui pendekatan teoritik, yang melibatkan penafsiran sintetik-analitik terhadap teks-teks suci. Selama ini, metodologi yang dikembangkan dalam studi hukum Islam lebih berfokus pada menjaga otoritas teks, sehingga menafsirkan teks secara literal tanpa mempertimbangkan konteks. Pendekatan seperti ini melanggengkan pemahaman yang statis, di mana hukum diperlakukan sebagai sesuatu yang final dan tidak terbuka untuk penafsiran baru.
Dalam pendekatan sintetik-analitik yang diajukan oleh Kuntowijoyo, penafsiran tidak hanya dilakukan secara literal tetapi juga melalui refleksi terhadap makna moral yang terkandung dalam teks. Pada tahap sintetik, penafsiran dilakukan dengan merefleksikan pesan-pesan normatif Al-Qur’an, seperti keadilan (‘adl), kemanusiaan (insāniyah), dan kesejahteraan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr). Refleksi ini memungkinkan penafsiran hukum yang lebih dinamis dan terbuka terhadap perubahan.
Setelah itu, pada tahap analitik, penafsiran sintetik harus diterjemahkan ke dalam level objektif yang dapat diterapkan dalam konteks sosial. Sebagai contoh, penafsiran mengenai konsep keadilan tidak hanya dipahami dalam konteks teoretis, tetapi juga diterjemahkan ke dalam praktik hukum yang dapat mengatasi ketidakadilan sosial di masyarakat modern. Ini melibatkan upaya untuk membangun teori hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap tantangan kontemporer, seperti isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan reformasi ekonomi.
***
Demistifikasi hukum Islam adalah langkah strategis untuk membebaskan hukum dari mistifikasi yang selama ini menghambat perkembangan pemikiran dan praktik hukum yang relevan dengan zaman. Melalui demistifikasi teologis, hukum Islam bisa lebih membumi dan berhubungan langsung dengan persoalan sosial yang dihadapi umat. Demistifikasi teoritik melalui penafsiran sintetik-analitik membuka ruang untuk penafsiran yang lebih kritis dan kontekstual, sehingga hukum Islam tidak lagi menjadi doktrin yang kaku, tetapi sistem yang responsif dan relevan. (Disarikan dari Artikel Penulis, “Mistifikasi Epistemologi Hukum Islam Kaum Puritan” di https://repository.iainponorogo.ac.id/722/1/Mistifikasi_Repository.pdf).
Discover more from Akademika
Subscribe to get the latest posts sent to your email.