Kembali ke Fitrah di Era Digital: Menemukan Hakikat Kemanusiaan di Tengah Arus Deras Teknologi

Era digital membawa kemajuan yang luar biasa, tetapi juga menciptakan tantangan besar bagi kita dalam menjaga keseimbangan hidup. Arus informasi yang deras, ketergantungan terhadap teknologi, serta hilangnya “makna” dalam interaksi sosial membuat banyak orang mengalami alienasi. Dalam konteks ini, kembali ke fitrah menjadi sebuah kebutuhan niscaya untuk menemukan kesejatian makna hidup di tengah arus deras digitalisasi.

Cepat tapi Dangkal versus Kedalaman Pemahaman

Teknologi memungkinkan segala sesuatu menjadi lebih cepat dan instan. Namun, kemudahan ini sering kali mengorbankan kedalaman berpikir dan refleksi diri. Kita cenderung tergoda untuk mengonsumsi informasi yang viral daripada memahami sesuatu secara mendalam.

Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation mengingatkan bahwa era digital menciptakan dunia hiper-realitas (realitas semu). Sesuatu yang tampak nyata di dunia maya sering kali hanyalah representasi dangkal dari realitas sesungguhnya (Elly M. Setiadi dan Alif Melky Ramani: 2021). Apa akibatnya? Ya, kita sering kehilangan orientasi terhadap kedalaman makna.

Pada aras yang lain, ketergantungan terhadap media sosial dan teknologi digital membuat manusia semakin sulit untuk hadir secara utuh dalam kehidupan nyata. Alih-alih menikmati kebersamaan secara langsung, banyak di antara kita lebih sibuk merekam dan membagikan momen. Ini sering kali demi validasi dan pengakuan sosial.

Erich Fromm dalam To Have or To Be? menyatakan bahwa manusia modern cenderung terjebak dalam pola eksistensi berbasis kepemilikan, to have, bukan to be (Fatrawati Kumari: 2015). Nilai seseorang diukur dari apa yang ia tunjukkan di ruang publik, bukan dari kualitas diri yang ia bangun.

Kembali ke fitrah dalam konteks ini berarti menyadari bahwa eksistensi manusia lebih dari sekadar citra digital, tetapi juga tentang relasi yang bermakna dan pertumbuhan spiritual yang sejati.

Fitrah manusia juga bermakna memiliki kebebasan dalam memilih, berpikir kritis, dan menjalani hidup dengan nilai-nilai yang selaras dengan nurani. Dalam Islam, konsep fitrah merujuk pada keadaan alami manusia yang cenderung kepada kebaikan dan kebenaran (QS. Ar-Rum: 30).

Namun, era digital sering kali menggiring manusia pada distraksi atau pengalihan perhatian yang membuatnya lupa pada tujuan utama hidup. Maka, menjadikan teknologi sebagai alat, bukan sebagai pusat kehidupan, adalah langkah penting kembali ke fitrah.

Marshall McLuhan dalam teori Medium is the Message, menegaskan bagaimana cara kita menggunakan media akan membentuk pola pikir dan perilaku kita. (Wikipedia). Oleh karena itu, kontrol terhadap penggunaan teknologi adalah kunci agar manusia tetap menjadi subjek, bukan objek teknologi informasi.

Fitrah sebagai Kompas

Apa yang bisa dikatakan lebih lanjut? Kembali ke fitrah di era digital bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Kembali ke fitrah adalah menempatkan teknologi pada posisinya, yakni sebagai sarana, bukan tujuan.

Konkritnya membangun kesadaran untuk mengontrol konsumsi informasi, membangun interaksi yang bermakna, serta menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata. Inilah hakikat fitrah di era digital. Di tengah gempuran arus deras digitalisasi, fitrah tetap menjadi kompas yang menuntun manusia menemukan makna hidup yang sejati. Wallah a’lam!

Bagikan ke:

Discover more from Akademika

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *