Amanah dalam Hati dan Tindakan

Secara harfiah, kata amanah berarti “jujur, dapat dipercaya”, yakni lawan kata dari khiyanah. Karenanya kata amanah sering kali dilekatkan pada seseorang yang selalu berkata benar atau seseorang yang menepati janji. Amanah mempunyai akar kata yang sama dengan iman (I-m-n), yang bermakna aman, damai dan tiadanya guncangan dalam diri seseorang.

Akar kata yang sama ini membawa pada korelasi makna antara keduanya. Menurut H. B. Jassin, amanah merupakan sebuah kata yang plastis atau bersayap.  Setiap hal yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab atau hak dan kewajiban dapat dirujukkan pada prinsip amanah sebagai nilai dasarnya. Karena itulah, prinsip amanah merupakan salah satu kaidah dasar dalam tata kehidupan individu sebagai anggota masyarakat dan sebagai hamba Allah.

Allah berfirman dalam surat al-Ma`idah ayat 1:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu“. 

Yang dimaksud janji-janji di atas mencakup janji manusia sebagai hamba terhadap Allah maupun perjanjian antar sesama manusia dalam pergaulan hidupnya (mu’amalah).

Janji  manusia sebagai hamba terhadap Allah sering kali dilekatkan dengan fungsi kekhalifahan manusia, yaitu kesediaan manusia mengelola bumi sesuai dengan konsep Allah. Hal ini sebagaimana diungkap dalam surat al-Ahzab, ayat 72:

إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh“.

Ayat di atas menunjukkan betapa berat amanah yang diberikan Allah, hingga hanya manusia yang bersedia mengembannya, walaupun pada akhirnya sebagian manusia bertindak zalim dan bodoh. Manusia memang diberi kemampuan oleh Allah yang memungkinkan untuk mengemban amanah itu, sebagaimana disimbulkan dalam al-Qur’an dengan kemampuannya mengeja nama-nama. 

Akan tetapi yang perlu juga diingat bahwa manusia juga mempunyai potensi untuk cenderung pada kezaliman. Karena itulah Allah berulang-ulang mengingatkan manusia akan janji atau amanah yang diembannya, antara lain firman-Nya dalam surat al-Nahl, ayat 91:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat“.

Menepati janji dengan Allah meliputi janji prasetya pada awal penciptaan manusia serta janji pada saat seseorang mengaku beriman dan nadzar-nadzar yang diikrarkan karena Allah. Perwujudan menepati janji dengan Allah adalah hidup sesuai dengan norma-Nya dan, menjauhkan diri dari segala larangan-Nya dan mengerjakan semua perintah-Nya. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa manusia memang diciptakan dan dipelihara oleh Allah.

Dalam tata kehidupan sosial kemasyarakatan, prinsip amanah juga merupakan pondasi yang cukup signifikan dalam menciptakan model kehidupan yang aman, damai dan tentram sebagaimana makna akar kata dari amanah itu sendiri. Prinsip amanah menjadi dasar penting dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Dalam bidang politik-ketatanegaraan misalnya, seorang pemimpin atau kepala negara adalah pemegang amanah, baik amanah dari Tuhan atau amanah dari rakyat. Amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan. Tauladan Nabi SAW. mengajarkan bahwa Nabi Saw. memiliki empat ciri kepemimpinan: shiddiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan), amanah (dapat dipercaya) dan tablig (komunikatif-menyampaikan).

Pendek kata semua bidang kehidupan dan siapapun orangnya tidak bisa lepas dari prinsip amanah, tentunya sesuai dengan posisi masing-masing. Amanah menjadi parameter apakah seseorang berpredikat sebagai mu’min atau munafik.

حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ *

Semoga, kita semua bisa meraih kemuliaan akhlak ini secara utuh, yakni kemampuan mengemban amanah baik di tingkat hati, kata, dan tindakan, semoga!

Bagikan ke:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *