Puasa dan Makna Sosial Takwa

Puasa mempunyai makna al-imsak, menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa seperti makan dan minum serta hawa nafsu yang angkara. Puasa yang sekedar bersifat fisik tidak mendapatkan sesuatu kecuali lapar dan haus.

Puasa menjadi ritual yang kompleks karena ia tidak saja berdimensi eksoteris (fikih yang lahiriyah), tetapi juga esoteris (spiritualitas yang ruhaniyah). Puasa dengan karakter tersebut bertujuan untuk menggapai derajat taqwa. Ini sebagaimana difirmankan dalam Surat al-Baqarah: 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.

Puasa ibaratkan “perjalanan jauh” yang tujuan akhirnya adalah “takwa”. Sebagai perjalanan jauh, tidak semua yang melakukan perjalanan bisa mencapai terminal akhir perjalanan, yakni ketakwaan. Puasa yang hanya berhenti pada ritual yang bersifat formal tidak akan sampai pada terminal ketakwaan. Paling banter, puasa seperti tersebut berhenti pada kesalehan yang bersifat individual belaka. Di antara Indikatornya adalah mereka yang berpuasa tetapi masih melakukan aniaya terhadap yang lain.

Fazlur Rahman ini menegaskan bahwa konsep takwa hanya bermakna dalam konteks sosial. Takwa adalah dasar moralitas terpenting yang diintrodusir al-Qur’an. Takwa menunjuk pada kepribadian yang bersifat padu, matang, dan stabil. Takwa tercermin dalam tindakan-tindakan yang bersifat sosial dan berorientasi pada kemaslahatan.

Sebagaimana taqwa berasal dari kata w-q-y yang bermakna berlindung dari sesuatu, konsep ini dimaknai sebagai melindungi diri dari berbagai konsekuensi tingkah laku yang merusak. Jika takwa dimaknai sebagai rasa takut kepada Allah, rasa takut tersebut menurut Rahman harus dimaknai sebagai “ketakutan” yang tumbuh dari rasa tanggung jawab, bukan dalam makna ketakutan karena berhadapan dengan penguasa tiran.

Perbuatan manusia karenanya berada dalam kendali manusia, walaupun penilaian akhir berada di luar jangkaun manusia. Konsep takwa membawa pada makna penting kesadaran dan tanggung jawab manusia. Kesadaran dan tanggung jawab ini bermuara pada makna penting rasio dan hati nurani sebagai dasar perbuatan manusia bertakwa.

Dalam perspektif filsafat moral, hati nurani adalah pertimbangan penting perbuatan. Istilah istafti qalbak mengajarkan bahwa hati nurani sesungguhnya tidak pernah berbohong. Pada individu dewasa yang telah matang, pertimbangan subyektif hati nurani tidak bertentangan dengan kualitas obyektif sebuah perbuatan.

Puasa sendiri pada dasarnya ibadah yang bersifat privat (relasi vertikal manusia dengan Tuhan). Tetapi makna puasa melampaui dimensi privatnya. Ia mendidik individu, menumbuhkan jiwa sosial dan kesadaran bermasyarakat. Puasa adalah penyucian jiwa dan pengasahan empati dengan menahan dari makan dan minum, serta hawa nafsu, amarah dan angkara. karena itu, bulan puasa tidak sekedar bulan ibadah, tetapi juga bulan ukhuwwah dan bulan solidaritas.

Berdasar uraian di atas, kita semua berharap ibadah puasa kita bisa melahirkan tidak saja kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial sebagaimana yang dikehendaki oleh makna sosial takwa. Inilah esensi puasa, esensi takwa yang menjadi tujuan puasa. Makna-makna sosial ibadah, utamanya puasa inilah yang kontributif bagi penyelesaian problem-problem sosial-kemasyarakatan, semoga! (Abid Rohmanu)

Bagikan ke:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *