Ramadan adalah bulan al-Qur’an. Tidak saja al-Qur’an ditadarruskan, tetapi juga diperingati nuzulnya (nuzul al-Qur’an). Momentum ini tepat pula untuk mengkaji al-Qur’an yang dalam tulisan pendek ini berkaitan dengan persoalan tafsir al-Qur’an.
Tulisan ini dulunya adalah bagian dari review terhadap buku yang berjudul Dialektika Langit dan Bumi: Mengkaji Historitas al-Qur’an melalui Studi Ayat-ayat Makki-Madani dan Asbab al-Nuzul karya Abad Badruzaman. Buku ini pernah dibedah di Pascasarjana IAIN Ponorogo bekerja sama dengan Mizan pada tahun 2018.
Wacana tafsir al-Qur’an lebih banyak bertendensi dogmatis-ideologis ketimbang akademis. Pendekatan yang dipakai bercorak normatif-tekstual dan berkecenderungan abai terhadap realitas kesejarahan. Yang terjadi kemudian adalah perkembangan tafsir yang bersifat – meminjam istilah Kuntowijoyo – involutif, yakni perkembangan “ke dalam”.
Perkembangan involutif ditandai oleh wacana tafsir yang berkutat pada teks (hawl al-nash) dengan gerakan tafsir “dari teks ke teks”. Model tafsir ini berpotensi mengebiri jargon al-Islam shalih li kull zaman wa makan. Dogmatisme tafsir bisa berimplikasi pada kemunduran peradaban. Sebagaimana, poros peradaban Islam adalah teks (al-Qur’an), maka model interaksi umat dengan teks menentukan corak peradaban.
Al-Qur’an tidak turun dalam ruang hampa, ia tidak pula mendekte realitas. Al-Quran turun secara gradual untuk menyapa dan berdialog dengan realitas secara berimbang. Konsep ayat-ayat makkiyah dan madaniyah serta konsep asbab al-nuzul dalam Ilmu al-Qur’an adalah bukti konkrit sapaan al-Qur’an terhadap realitas.
Tetapi sayangnya, kajian makkiyah-madaniyah dan asbab al-nuzul belum beranjak dari tataran yang bersifat normatif. Padahal konsep-konsep ini berpotensi besar dikembangkan dari aspek pendekatan dan wawasan, termasuk pendekatan sosio-historis.
Menolak Antikuarisme
Teks al-Qur’an turun pada konteks historis masyarakat Arab. Ia tidak cukup dipahami dengan pendekatan linguistik-semantik. Pesan teks akan lebih mudah dipahami jika melibatkan pendekatan kesejarahan, yakni dengan mempertimbangkan situasi makro dan mikro pewahyuan.
Selain itu, pembacaan produktif juga meniscayakan pemahaman terhadap situasi kontemporer dengan pendekatan ilmu sosial (sosio-historis). Karena itu, pendekatan sosio-historis dalam konteks ini bisa dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap antikuarianisme tafsir alQur’an.
Antikuarianisme adalah istilah untuk menunjuk pada bentuk pelestarian entitas kesejarahan yang salah kaprah dengan tidak memberi peluang perubahan. Antikuarianisme tafsir melihat masa lalu teks sebagai romantisme belaka. Padahal sejarah adalah membincang perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan perubahan sosial (Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah).
Alhasil, perspektif sosio-historis terhadap tafsir hendak membaca teks al-Qur’an secara transformatif. Transformasi ini terlihat jelas dalam periodisasi turunnya ayat al-Qur’an, makkiyahmadaniyah. Badruzaman melukiskan situasi Makkah pra-Islam diwarnai dengan syirik “ketuhanan” dan syirik sosial, yakni kebusukan moral dan kebobrokan agama serta disparitas sosial-ekonomi.
Pada situasi di atas al-Qur’an hadir mentransformasi dari keyakinan politeis ke monoteis, dari sistem kemasyarakatan yang eksploitatif (secara politik dan sosio-ekonomi) ke masyarakat yang berkeadilan.
Membaca dan Merekonstruksi Makna
Membaca adalah merekonstruksi makna, bukan untuk kepentingan masa lalu, tetapi masa kini. Rekontruksi masa lalu untuk masa kini melibatkan hubungan mufassir dengan teks secara kompleks. Kompleksitas ini menuntut dilakukannya negoisasi dan kontruksi makna secara terus menerus melibatkan horizon kesejarahan. Bahasa al-Qur’an menyejarah (bahasa utama masyarakat Arab), ia turun berdasar situasi kesejarahan dan realitas tertentu.
Karena itu, makna tekstual ayat harus dikembalikan ke zaman ketika ia diturunkan lewat penelusuran asbab al-nuzul (dengan memperhatikan situasi sosial). Pemahaman terhadap ayat selanjutnya didialektikakan dengan psiko-sosio-kultural penafsir dengan mempertimbangan standar kemaslahatan publik. Pola ini, tegas Badruzaman, menjadi prasyarat kontekstualisasi ayat dalam setiap ruang dan waktu.
Kontekstualisasi adalah penggalian pesan al-Qur’an yang melampaui konteks historisnya. Membaca makna implikatif (makna tambahan) untuk diterapkan pada masa kini menjadi keniscayaan. Menganalisis petunjuk-petunjuk al-Qur’an untuk mendapatkan implikasi normatif mewajibkan pendekatan sosio-historis, bandingkan jika pembacaan al-Qur’an hanya bertujuan untuk keindahan dan estetika! (Aboe El Fadl, 2001: 191, 199).
Pendekatan sosio-historis mempertimbangkan tiga kerangka waktu: fase yang mendahului turunnya al-Qur’an (al-bu’d al-tarikhi), fase al-Qur’an turun (al-bu’d al-zamani), dan fase setelah turunnya al-Qur’an (al-bu’d almustaqbali).
Discover more from Akademika
Subscribe to get the latest posts sent to your email.